Lama Baca 5 Menit

Aplikasi Ini Bikin Warga Dunia Tak Takut Corona

06 July 2020, 15:46 WIB

Aplikasi Ini Bikin Warga Dunia Tak Takut Corona-Image-1

Status “Sehat” dalam Aplikasi di Berbagai Negara - Image from : gambar diambil dari internet, segala keluhan mengenai hak cipta, dapat menghubungi kami


Singapura, Bolong.id - Untuk pergi ke mana saja di Singapura, Joni Sng membutuhkan sebuah aplikasi dalam ponselnya yang menunjukkan kode QR guna memasuki toko, peta digital untuk melihat seberapa ramai mall atau taman. 

Aplikasi juga berfungsi sebagai pelacak, menunjukkan jika dia berada di dekat seseorang yang terinfeksi COVID-19. 

Bagi sekitar 5,6 juta orang di Singapura, tindakan ini rutin dilakukan karena pemerintah memudahkan pembatasan yang diberlakukan untuk mencegah penyebaran penyakit ini.

Singapura, bersama dengan Taiwan, Korea Selatan dan Tiongkok, dengan cepat merangkul teknologi untuk memetakan wabah COVID-19 sejak awal dengan pelacakan kontak, robot dan drone

Sekarang, banyak negara dan berbagai sektor bisnis mewajibkan penggunaan teknologi ketika seseorang kembali bekerja dan mulai bepergian, yaitu dengan menggunakan aplikasi, pemindai, sistem check-in, dan apa yang disebut sebagai “paspor imunitas”. Sistem ini terutama dibutuhkan di kota-kota besar yang cenderung lebih padat penduduknya. 

Aplikasi kode kesehatan Tiongkok termasuk yang pertama muncul, menunjukkan apakah pengguna bebas gejala COVID-19 untuk dapat naik kereta bawah tanah atau check in ke hotel. 

Di India, pihak berwenang telah membuat aplikasi seluler pelacakan-kontak bernama Aarogya Setu yang wajib dimiliki seseorang yang ingin menaiki angkutan umum untuk pergi bekerja. 

Namun, direktur eksekutif dari Digital Asia Hub, Malavika Jayaram, mengatakan bahwa adanya alat-alat ini mengecualikan populasi yang rentan dan terpinggirkan, termasuk mereka yang tidak memiliki smartphone

"Ini meningkatkan risiko kesenjangan digital..." ungkapnya. “Mereka yang memiliki smartphone baru dapat tetap aman, tetap bersosialisasi dan kembali ke kehidupan normal."

Kekhawatiran tersebut nyata dirasakan oleh puluhan orang yang harus terdampar di antara kelompok-kelompok yang bertikai di Ukraina timur karena pemerintah mengharuskan mereka untuk mengunduh aplikasi pelacakan COVID-19, dan menolak izin masuk bagi siapa pun yang tidak memiliki smartphone, menurut Human Rights Watch, melansir dari Reuters

“Orang-orang harus bermalam di tengah konflik militer, hanya karena mereka tidak memiliki smartphone untuk mengunduh aplikasi,” kata Laura Mills, seorang peneliti dalam kelompok advokasi. "Aplikasi yang sangat invasif ini jelas menempatkan orang... lebih jauh dalam bahaya," tambahnya.

Perdebatan seputar keadilan dan kesetaraan semakin intensif dengan meningkatnya kekhawatiran bahwa ketika tempat kerja terbuka dan perjalanan internasional berlanjut, pekerja dan pelancong mungkin diminta untuk memberikan bukti “sehat” sebagai syarat masuk. 

Salah satu opsi yang dipertimbangkan adalah paspor imunitas, yang mengumpulkan data pengujian dan memungkinkan orang untuk berbagi status kekebalan mereka dengan atasan kerja atau maskapai penerbangan. 

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dengan cepat mendiskreditkan paspor imunitas dan anggapan bahwa keberadaan antibodi pada orang yang sebelumnya terinfeksi membuat mereka kebal. 

Tetapi ini tidak menghentikan perusahaan untuk mengabaikan ide tersebut. Perusahaan teknologi yang berbasis di Inggris, VST Enterprises, mengatakan telah mulai mengirimkan paspor kesehatan digitalnya, Covi-Pass, ke perusahaan dan pemerintah di lebih dari 15 negara termasuk Perancis, Kanada dan India.

Sementara itu, Indonesia sendiri sedang mempertimbangkan sertifikat imunitas atau vaksinasi, ungkap Djarot Andaru, seorang peneliti di Universitas Indonesia yang memberi nasihat kepada pemerintah tentang protokol transportasi udara ketika pembatasan perjalanan dicabut.

“Yang dikhawatirkan adalah bahwa tes COVID-19 mahal dan tidak tersedia secara luas, sehingga tidak semua orang dapat mengakses atau membelinya. Ini dapat menyebabkan kesulitan yang lebih besar dan juga munculnya sertifikat palsu,” katanya. 

“Ketika ada vaksin, dan jika tersedia secara luas dan dapat diakses oleh semua orang, maka sertifikat vaksinasi dapat menjadi pilihan. Kalau tidak, itu akan tidak adil bagi semua orang.” (*)