Klenteng Sam Poo Kong - Image from Internet. Segala keluhan mengenai hak cipta dapat menghubungi kami
Semarang, Bolong.id - Terletak 5 kilometer barat daya dari pusat kota Semarang, ibu kota Jawa Tengah, Indonesia, terdapat Klenteng Sam Poo Kong, situs warisan budaya dari perjalanan Laksamana Cheng Ho. Dikelilingi oleh pegunungan dan sungai serta pohon hijau, kompleks Klenteng yang memadukan gaya arsitektur Tiongkok dan Jawa kuno ini menjadi daya tarik wisata lokal.
Menurut Suratman, pemandu wisata Sam Poo Kong, Klenteng Sam Poo Kong dibangun pada tahun 1724, sekitar 300 tahun setelah pelayaran Laksamana Cheng Ho, dibangun oleh masyarakat setempat untuk memperingati kunjungan Laksamana Cheng Ho ke Semarang.
"Laksamana Cheng Ho mengunjungi dua kali. Wakilnya Wang Jinghong dulu memulihkan diri di sini, dan kemudian menetap di sini, dan bersama dengan anggota kru lainnya menyebarkan budaya Tiongkok dan perbuatan baik Laksamana Cheng Ho di sini," kata Suratman.
Dilansir dari Xinhua Net, Klenteng Sam Poo Kong didasarkan pada gaya arsitektur Tiongkok kuno yang khas, tetapi juga terintegrasi dengan istiadat rakyat pulau Jawa, Indonesia. Klenteng ini terletak di sisi barat dan menghadap ke timur, penuh dengan ubin merah dan dinding merah, gerbang setiap Klenteng dijaga oleh batu berbentuk singa atau unicorn.
Di tengah kelenteng, patung perunggu Laksamana Cheng Ho setinggi 11 meter berdiri megah, seolah menceritakan kisah persahabatan antara Tiongkok dan Indonesia sekitar 600 tahun yang lalu. Di belakang kelenteng terdapat satu set mural pahatan yang panjangnya puluhan meter, sosok-sosok yang hidup dan membuat orang merasakan momentum agung Laksamana Cheng Ho mengendarai angin dan ombak ketika ia berlayar ke barat.
Selain Sam Poo Kong, Klenteng Tay Kak Sie adalah monumen budaya Laksamana Cheng Ho yang terkenal di daerah setempat. Menurut legenda, pada abad ke-18, seorang pengusaha Yahudi membeli Sam Poo Kong dan kepemilikan tanahnya, dan membebankan biaya tinggi kepada semua orang Tionghoa lokal yang pergi ke Sam Poo Kong untuk menyembah Laksamana Cheng Ho. Orang Tionghoa harus pergi ke Klenteng Tay Kak Sie, yang terletak di pusat kota Semarang tempat orang Tionghoa berkumpul, untuk melakukan persembahan.
Klenteng Tay Kak Sie - Image from Internet. Segala keluhan mengenai hak cipta dapat menghubungi kami
Ketika datang ke Klenteng Tay Kak Sie, dapat terlihat patung Laksamana Cheng Ho setinggi sekitar 3 meter di luar klenteng, memegang pedang di tangan kiri, dan menatap ke depan. Klenteng Tay Kak Sie adalah klenteng dengan model tiga aula dengan aula utama di tengah berbentuk lingkaran dan lampion merah digantung di antara tiang-tiang di kedua sisi. Masih banyak penyembah yang memegang dupa dari waktu ke waktu, menunjukkan Klenteng Tay Kak Sie telah berdiri selama ratusan tahun.
Pada hari pertama dan kelimabelas tahun baru Imlek, Klenteng Tay Kak Sie akan mengadakan kegiatan ibadah dengan skala besar. Setiap tahun pada tanggal 30 Juni penanggalan lunar, pada hari ketika Laksamana Cheng Ho mendarat di Semarang, masyarakat Tionghoa setempat juga akan mengadakan parade patung Laksamana Cheng Ho. Acara ini tidak hanya menarik minat warga Tionghoa dari seluruh Indonesia, tetapi penduduk lokal Indonesia juga aktif berpartisipasi.
Kekaguman masyarakat Semarang terhadap Laksamana Cheng Ho berawal dari kontribusi positif Laksamana Cheng Ho terhadap pembangunan daerah.
"Laksamana Cheng Ho telah membawa teknologi pertanian maju ke daerah setempat, mengajari penduduk setempat untuk menggunakan tenaga hewan untuk membajak lahan pertanian, dan meningkatkan panen padi dari dua musim setahun menjadi tiga musim setahun; Laksamana Cheng Ho juga membawa metode memasak baru ke masyarakat setempat dengan membuat kue kedelai dan tahu, yang memperkaya budaya makanan lokal..." berbicara tentang signifikansi positif pelayaran Laksamana Cheng Ho ke Indonesia, pemandu wisata Sam Poo Kong Suratman sangat mengetahui dampaknya.
Sandiyo, seorang guru seni dari Yogyakarta, Indonesia, mengatakan bahwa Laksamana Cheng Ho membawa budaya dan teknologi maju ke Indonesia sekitar 600 tahun yang lalu, yang secara signifikan mengubah kehidupan dan tingkat perkembangan lokal, dan pengaruhnya berlanjut hingga hari ini. Karena Laksamana Cheng Ho dan banyak orang Tionghoa menetap di sini dan terlibat dalam bisnis, mereka membantu perkembangan kota.
"Sejauh bidang seni yang saya pelajari, penduduk asli Indonesia di Semarang juga mulai berpartisipasi dan mengabdikan diri pada kegiatan budaya dan seni Tiongkok seperti tarian naga dan barongsai, yang mencerminkan interaksi budaya antara kelompok etnis yang berbeda," kata Sandiyo.
Dalam wawancara dengan wartawan, Zhou Jichao, peneliti senior budaya Laksamana Cheng Ho di Indonesia, mengatakan bahwa apa yang dibawa pelayaran Laksamana Cheng Ho ke negara-negara di sepanjang Jalur Sutra Maritim bukanlah perang, tetapi perdamaian. Selama pelayaran Laksamana Cheng Ho, ia membawa budaya Tiongkok yakni, harmoni tanpa perbedaan ke luar negeri dan disambut oleh negara-negara pesisir.
Zhou Jichao percaya bahwa dalam konteks proposal Tiongkok untuk membangun Jalur Sutra Maritim Abad 21, perlu diteruskan semangat Laksamana Cheng Ho dengan pertukaran persahabatan dan kerja sama yang saling menguntungkan sebagai intinya, untuk memperkuat kerja sama maritim antar negara di sepanjang Jalur Sutra Maritim, dan bekerja sama untuk mencari pembangunan kemakmuran bersama. (*)
Informasi Seputar Tiongkok
Advertisement