Ilustrasi Vaksin - Image from Kompas
Bolong.id - Virus corona varian delta menjadi perhatian serius, karena hasil tes laboratorium menunjukkan, varian delta lebih menular dibanding varian Covid-19 lainnya.
Selain itu, Public Health England menemukan, bahwa varian Delta tampak dua kali lebih mungkin menyebabkan rawat inap dibandingkan varian Alpha.
Kendati demikian, sebagian besar dari pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit adalah mereka yang belum divaksinasi dan tidak memiliki antibodi penawar untuk melindungi diri dari virus.
Menurut para ahli, salah satu upaya yang harus dilakukan untuk perlindungan dan mencegah penyebaran varian delta adalah dengan percepatan vaksinasi Covid-19.
Meski vaksin Covid-19 tak bisa mencegah seseorang dari infeksi Covid-19 varian apa pun, setidaknya vaksin bisa menurunkan risiko keparahan dan kematian akibat Covid-19.
Lalu, seberapa efektif vaksin Covid-19 terhadap virus corona varian delta? Berikut penjelasannya.
1. Vaksin Pfizer-BioNTech
Sebuah studi nyata yang dilakukan oleh Public Health England menunjukkan, bahwa dua dosis vaksin berbasis messenger RNA (mRNA) yang diproduksi oleh Pfizer-BioNTech efektif dalam mencegah rawat inap, karena varian Delta (B.1.617.2), yang pertama kali dideteksi oleh para ilmuwan di India.
Selain menyebabkan lonjakan kasus dan angka kematian akibat Covid-19 di India, varian Delta juga telah menjadi jenis virus corona yang dominan di Inggris dan berbagai Negara lain, termasuk di Indonesia.
Mereka yang telah menerima dua dosis vaksin Pfizer-BioNTech, 96% terhindar dari rawat inap tanpa kematian. Penelitian ini melibatkan 14.019 orang di Inggris yang telah tertular virus varian Delta.
Dari mereka, 166 dirawat di rumah sakit dari 12 April hingga 4 Juni. Selain itu, melansir Aljazeera, vaksin ini 88 persen efektif melawan Covid-19 bergejala yang disebabkan oleh varian Delta dua minggu setelah dosis kedua.
"Sangat penting untuk mendapatkan kedua dosis vaksin, segera setelah ditawarkan kepada Anda, demi mendapatkan perlindungan maksimal terhadap semua varian yang ada dan yang muncul," kata Mary Ramsay, M.D., Kepala Imunisasi PHE dalam sebuah pernyataan.
CEO Pfizer, Albert Bourla mengatakan, bahwa begitu varian mulai muncul, perusahaannya merespons dengan menguji vaksinnya terhadap mereka.
“Saya merasa cukup aman bahwa kita mampu menghadapinya. Kami tak membutuhkan vaksin khusus untuk melawan varian delta, karena vaksin yang ada saat ini seharusnya bisa memberi perlindungan,” ujarnya pada CBS, Selasa (15/6/2021).
2. Vaksin AstraZeneca
Vaksin AstraZeneca menggunakan vektor virus simpanse yang kekurangan replikasi, berdasarkan versi virus flu biasa (adenovirus) yang dilemahkan, yang menyebabkan infeksi pada simpanse dan mengandung materi genetik protein lonjakan virus SARS-CoV-2.
Setelah vaksinasi, protein lonjakan permukaan diproduksi, sehingga memicu sistem kekebalan untuk menyerang virus SARS-CoV-2 jika kemudian menginfeksi tubuh.
Data terbaru dari Public Health England (PHE) yang diterbitkan sebagai pra-cetak, menyebut vaksin AstraZeneca menawarkan perlindungan tingkat tinggi dari varian delta, efikasinya mencapai hingga 92 persen.
Dalam laporan tersebut dikatakan bahwa dua dosis vaksin AstraZeneca dapat mencegah risiko rawat inap karena varian Delta hingga 92 persen. Bahkan, tidak ada kematian di antara mereka yang divaksinasi.
Sementara efektivitas vaksin terhadap infeksi Covid-19 varian delta yang bergejala adalah 64 persen. Hal itu berdasarkan analisis yang mencakup 14.019 kasus varian Delta, di mana 166 di antaranya dirawat di rumah sakit antara 12 April hingga 4 Juni di Inggris.
Bukti nyata terhadap varian Delta ini didasarkan pada tindak lanjut terbatas, setelah dosis kedua yang dapat memengaruhi perkiraan efektivitas.
Mene Pangalos, Executive Vice President, BioPharmaceuticals R&D mengatakan, bukti nyata ini menunjukkan bahwa vaksin Covid-19 AstraZeneca memberikan perlindungan tingkat tinggi terhadap varian Delta, yang saat ini menjadi varian yang menjadi perhatian karena penularannya yang cepat.
3. Vaksin Sinovac
Vaksin Covid-19 Sinovac buatan perusahaan bioteknologi asal Tiongkok, dikembangkan dengan teknologi inactivated virus atau virus utuh dari SARS-CoV-2, penyebab Covid-19, yang sudah dimatikan.
Tujuannya untuk memicu sistem kekebalan tubuh terhadap virus tanpa menimbulkan respons penyakit yang serius. Metode inactivated virus adalah teknologi yang biasa dipakai dalam pengembangan vaksin, termasuk dalam pengembangan vaksin polio dan flu.
Vaksin Sinovac ini juga telah mengantongi izin EUA dari WHO. Menurut WHO, hasil data yang ditinjau menunjukkan vaksin berbasis inactivated virus tersebut dapat mencegah penyakit bergejala pada 51 persen dari mereka yang telah menerima vaksinasi.
Selain itu, data juga menunjukkan vaksin ini melindungi infeksi parah dari Covid-19 yang menyebabkan rawat inap pada 100 persen populasi yang diteliti.
Para ahli Strategic Advisory Group of Experts (SAGE) mengungkapkan sebelumnya, bahwa efikasi vaksin dalam uji klinis fase 3 multi-negara berkisar antara 51-84 persen.
Meski demikian, belum ada data yang menunjukkan vaksin Sinovac efektif memberi perlindungan terhadap varian delta.
Namun, ahli biologi molekular, Ahmad Utomo mengatakan, berdasarkan data dari India, mereka juga menggunakan vaksin yang memiliki teknologi yang sama seperti sinovac, yaitu inactivated vaccine.
“Masih bisa dikendalikan (dengan inactivated vaccine),” ujar Ahmad dalam podcast Kata Pak Ahmad.
Strategi terbaik melawan varian Delta Para ilmuwan setuju bahwa pertahanan terbaik melawan varian Delta adalah mendapatkan vaksinasi Covid-19 dua dosis penuh.
Ilmuwan Prancis Jean-François Delfraissy mengatakan, menciptakan blok orang yang divaksinasi akan membantu menjaga varian Delta ,agar tidak menyebar ke seluruh populasi.
Sebuah penelitian di AS dari 10 Juni juga menunjukkan, pentingnya vaksinasi untuk menjaga daftar varian agar tidak bertambah.
“Meningkatkan proporsi populasi yang diimunisasi dengan vaksin resmi yang aman dan efektif saat ini tetap menjadi strategi utama untuk meminimalkan munculnya varian baru dan mengakhiri pandemi Covid-19,” kata François Delfraissy.
Antoine Flahault, Kepala Institut Kesehatan Global Universitas Jenewa, turut menegaskan, pentingnya menjaga jarak sosial, berbagi informasi infeksi, dan mematuhi pembatasan untuk menjaga perputaran virus corona tetap rendah.
Ia mengingatkan, semakin banyak virus beredar, semakin banyak peluang yang dimiliki virus corona untuk bermutasi dan menghasilkan varian baru. (*)
Informasi Seputar Tiongkok
Advertisement