Ilustrasi Perayaan Imlek - Image from kumparan.com
Jakarta, Bolong.id - Imlek menjadi perayaan yang paling ditunggu masyarakat Tionghoa setiap tahunnya di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Perayaan yang khas dengan unsur warna merah itu menjadi momen paling penting masyarakat etnis Tionghoa dalam merayakan Tahun Baru China.
Dalam bahasa Mandarin, Imlek dikenal sebagai ‘Nongli Xinnian’ (Tahun Baru). Namun, kata Imlek lebih lazim digunakan oleh masyarakat Tionghoa yang berada di luar daratan China. Kata Imlek sendiri berasal dari dialek Hokkian, yaitu 'Im' yang berarti 'bulan' dan 'Lek' atau 'penanggalan', yang artinya ‘kalender bulan’.
Tahun ini, perayaan Imlek jatuh pada 12 Februari 2021. Biasanya, Tahun Baru imlek dirayakan dengan beragam tradisi meriah, mulai dari pementasan Barongsai, Liong, Festival Cap Go Meh, hingga festival lampion. Namun, kemeriahan Tahun Baru imlek di Indonesia sempat diharamkan sejak Presiden Soeharto mengambil alih kuasa.
Perayaan Imlek di Indonesia mempunyai catatan sejarah panjang beragama dan berbudaya di Tanah Air. Sebelum larangan perayaan Imlek berlaku di Indonesia, pada 1946, tepatnya setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, Presiden Soekarno mengeluarkan Ketetapan Pemerintah tentang Hari Raya Umat Beragama Nomor 2/OEM Tahun 1946. Pada Pasal 4 disebutkan, Tahun Baru Imlek, Ceng Beng (berziarah dan membersihkan makam leluhur), dan hari lahir sekaligus wafatnya Khonghucu sebagai hari libur.
Dengan lahirnya Ketetapan Pemerintah itu menunjukkan bahwa Hari Raya Tahun Baru Imlek Kongzili merupakan hari raya agama Tionghoa. Namun, pada masa Orde Baru, etnis Tionghoa mengalami kekangan dari pemerintah.
Kala itu, Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No.14/1967 tentang Pembatasan Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Tiongkok. Inpres tersebut menetapkan bahwa seluruh upacara agama, kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa haram dirayakan di depan publik.
Dengan dikeluarkannya Inpres tersebut, seluruh perayaan tradisi dan keagamaan etnis Tionghoa, seperti Tahun Baru Imlek, hingga Festival Cap Go Meh dilarang dirayakan secara terbuka. Kebijakan tersebut juga berlaku untuk pementasan Barongsai dan Liong.
Inpres ini dikeluarkan pemerintah Indonesia saat itu dengan alasan untuk mengeliminasi identitas, kebudayaan, dan adat istiadat etnis Tionghoa yang dianggap dapat menimbulkan pengaruh psikologis, mental, dan moril yang kurang wajar terhadap warga negara Indonesia. Selain itu, kebijakan ini juga diberlakukan lantaran pemerintah khawatir adanya kemunculan kaum komunis melalui etnis Tionghoa.
Selama Orde Baru berkuasa, etnis China tak diakui sebagai suku bangsa dan dikategorikan sebagai nonpribumi. Kebijakan diskriminatif itu yang mengukuhkan sentimen "anti China" dalam kehidupan bermasyarakat. Rendahnya adat toleransi terhadap etnis Tionghoa terekam pada tragedi Trisakti tahun 1998 silam.
Kala itu, banyak warga Tionghoa yang meninggalkan Ibu Pertiwi ke luar negeri, dijarah harta bendanya, bahkan tak sedikit perempuan Tionghoa yang diperkosa dan dibunuh. Lebih lanjut, masa-masa suram itu akhirnya berakhir kala Reformasi bergulir pada 1998 setelah tragedi mencekam itu berakhir.
Selama mengemban tugas sebagai presiden menggantikan Soeharto, Presiden Habibie menerbitkan Inpres No. 26/1998 yang membatalkan aturan-aturan diskriminatif terhadap komunitas Tionghoa. Inpres ini juga berisi penghentian penggunaan istilah pribumi dan nonpribumi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Masyarakat Tionghoa merasa mendapatkan kembali ketenangannya hidup di Tanah Air, setelah Gus dur diangkat menjadi Presiden ke-4. Kala itu, Gus Dur membuka kebebasan beragama bagi masyarakat Tionghoa dengan menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 19/2001 pada tanggal 9 April 2001. Perpes tersebut meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif, namun hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya.
Dalam konsep kebebasan ala Gus Dur itu, tak ada lagi penyebutan nonpribumi dan pribumi dalam pemerintahan. Bagi Gus Dur, tak ada yang namanya “keturunan masyarakat asli” di Indonesia, karena bangsa Indonesia dibentuk oleh perpaduan tiga ras, yakni Melayu, Astro-melanesia, dan China.
Bahkan, Gus Dur mengaku bahwa ia lahir dengan darah keturunan China, yakni Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tang Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak.
Dengan berakhirnya Instruksi Presiden Soeharto itu, warga etnis Tionghoa kembali bebas mengekspresikan diri dalam perayaan Tahun Baru Imlek. Atas keberhasilannya mendeklarasikan kebebasan beragama, pada perayaan Festival Cap Go Meh tahun 2004 di Klenteng Tay Kak Sie, Semarang, Gus Dur mendapat julukan sebagai ''Bapak Tionghoa'' oleh penduduk sekitar.
Atas kebebasan yang diberikan Gus Dur, masyarakat Tionghoa kembali bebas memeriahkan Imlek dengan menggelar pertunjukan barongsai di muka umum, hingga menjual berbagai pernak-pernik bernuansa merah di tiap sudut kota. Konsep kebebasan beragama yang digaungkannya itu, memberikan kebebasan dan ketenangan kepada etnis Tionghoa merayakan kepercayaan mereka.
Kemudian, saat menghadiri perayaan Imlek 2553 Kongzili, yang diselenggarakan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin) pada Februari 2002, Presiden Megawati Soekarnoputri mengumumkan mulai tahun 2003, Imlek ditetapkan sebagai Hari Libur Nasional.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002, ini ditetapkan karena adanya pertimbangan bahwa penyelenggaraan kegiatan agama, kepercayaan, dan adat istiadat, pada hakikatnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hak asasi manusia. Selain itu, Tahun Baru Imlek merupakan tradisi masyarakat Tionghoa yang dirayakan secara turun temurun di berbagai wilayah di Indonesia. (*)
Advertisement