Ilustrasi Bayi yang Terinfeksi COVID-19 - Gambar diambil dari internet, segala keluhan mengenai hak cipta, dapat menghubungi kami.
Tiongkok, Bolong.id - Seorang bayi berusia satu tahun asal Brasil yang meninggal karena COVID-19, hanya memiliki konsentrasi perkembangan virus tersebut di sebagian kecil otaknya. Hal ini menunjukkan kemungkinan COVID-19 memiliki kemampuan terbatas untuk berkembang biak di otak manusia, menurut peneliti Brasil.
Meski demikian, virus masih bisa menyebabkan infeksi dan memicu respons kekebalan berlebihan yang akan merusak jaringan otak, menurut penelitian yang dipimpin oleh ahli saraf Stevens Rehen dari Universitas Federal Rio de Janeiro, demikian laporan dari SCMP, Kamis (17/9/20).
Tim peneliti Rehen menyimpulkan bahwa COVID-19 "tidak menyebar secara efisien ke otak", dalam sebuah makalah yang diposting di server bioRxiv.org pada Senin (14/9/20).
Anak-anak lebih kecil kemungkinannya untuk terinfeksi COVID-19, atau kemungkinan gejala parah COVID-19 berkembang di tubuh, dibanding orang dewasa.
Namun, segera setelah kasus COVID-19 pertama diidentifikasi, dokter asal Tiongkok menemukan bahwa virus itu dapat memicu sakit yang parah pada anak. Kasus anak pertama dikonfirmasi pada 20 Januari lalu di Wuhan, dan pada 2 Februari lebih dari 700 anak telah dirawat di rumah sakit karena penyakit (bukan COVID-19) di seluruh Tiongkok, menurut sebuah penelitian oleh Universitas Shanghai Jiao Tong (上海交通大学).
Meskipun gejala pada anak-anak umumnya ringan, sekitar 10 persen bayi di bawah 12 bulan yang terinfeksi COVID-19 di Tiongkok, mengalami sakit parah atau bahkan meninggal karena virus tersebut.
Dalam kasus anak berusia satu tahun asal Brasil, tim peneliti Rehen menemukan keberadaan virus terkuat di pleksus koroid, yaitu sel di tengah otak yang menghasilkan cairan bening untuk melindungi jaringannya. Sedangkan pada otak bagian lain, virus tidak terdeteksi, baik dalam jumlah jejak maupun kemampuan berkembang biak. Jadi, meski virus dapat menginfeksi sel otak, tetapi tidak dapat bertambah banyak.
Menurut tim peneliti Rehen, “otak manusia kemungkinan merupakan situs buntu untuk Sars-CoV-2.”
Dalam kasus anak berusia satu tahun tersebut, infeksi tampaknya hanya terbatas pada sel-sel tempat cairan dihasilkan. Meski begitu, infeksi tersebut juga dapat merusak penghalang yang mengatur pertukaran materi di otak. Artinya, sel-sel kekebalan atau protein pemberi sinyal seperti sitokin kemudian dapat menyerang sistem saraf pusat, “yang menyebabkan kerusakan saraf di otak muda”, tambah tim peneliti Rehen.
Masih ada sedikit bukti langsung tentang efek COVID-19 pada otak. Para peneliti di Yale School of Medicine di Connecticut menemukan sebelumnya bahwa virus dapat menyerang dan berkembang biak di sel-sel otak, sementara penelitian lain menunjukkan hasil negatif.
Namun, COVID-19 diketahui memiliki kaitan erat dengan beberapa gejala neurologis. Sekitar 30 hingga 60 persen pasien yang terinfeksi, menderita kehilangan indra penciuman atau perasa, sensasi terbakar atau tertusuk, dan kesadaran berkurang. (*).
Advertisement