Lama Baca 3 Menit

Negara-negara di Asia Pilih Vaksin AS atau Tiongkok?

07 August 2020, 15:00 WIB

Negara-negara di Asia Pilih Vaksin AS atau Tiongkok?-Image-1

Ilustrasi Gambar Vaksin - Image from internet, segala keluhan mengenai hak cipta, dapat menghubungi kami

Jakarta, Bolong.id - Banyak negara telah berupaya megembangkan vaksin COVID-19. Dilansir CGTN, WHO mencatat sudah ada 165 vaksin yang dikembangkan di dunia. 

Beberapa vaksin terdepan seperti Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok pun telah melakukan uji coba fase ke 3 dimana jumlah orang yang diuji lebih banyak. Tak hanya itu, vaksin-vaksin mereka juga menunjukkan hasil yang positif.  

Media Tiongkok melaporkan pada Juli 2020, vaksin yang dikembangkan oleh CanSino Biologics dan unit riset militer Tiongkok menunjukkan hasil yang memberikan harapan. 

Vaksin dari Amerika pun demikian. Seperti vaksin dari Moderna misalnya. Vaksin ini telah mencapai uji coba fase 3. 

Lalu, apa dampaknya bagi negara-negara Asia? Menurut South China Morning Post, negara-negara Asia memiliki pandangan yang berbeda soal kerja sama dengan kedua negara pengembang vaksin terdepan ini. Ada yang memilih untuk bekerja sama dengan AS, dan ada pula yang bekerja sama dengan Tiongkok.

Indonesia melalui Bio Farma, telah bekerja sama dengan Sinovac, Tiongkok untuk mengembangkan vaksin COVID-19 sejak April 2020. Perusahaan akan meluncurkan uji coba fase 3 akhir bulan Agustus 2020 ini. Jika berhasil, maka vaksin akan diproduksi hingga 250 juta dosis setahun.

Sedangkan Filipina, dan Malaysia merupakan negara yang juga mengincar vaksin Tiongkok.  Sementara itu, Singapura, Jepang, dan Thailand lebih memilih bekerja sama dengan AS.

Para pakar menyebut ada beberapa faktor yang membuat hal itu terjadi. Pertama adalah alasan keamanan, kemanjuran, dan harga, menurut Kavitha Hariharan, direktur masyarakat sehat di Marsh & McLennan Advantage.

"Ini terutama terjadi di negara berkembang dengan populasi besar yang memiliki pengeluaran perawatan kesehatan per kapita yang relatif lebih rendah," katanya.

Jeremy Lim, seorang profesor di Sekolah Kesehatan Masyarakat Saw Swee Hock di Universitas Nasional Singapura mengatakan, faktor lainnya adalah alasan geopolitik. 

"Negara-negara akan secara alami menyesuaikan dengan prioritas nasional mereka yang lebih luas di luar kesehatan," paparnya. (*)