Pemimpin Taiwan Tsai-Ingwen - Image from NZ Herald
Tiongkok, Bolong.id
- Masih ada urusan yang belum selesai antara Tiongkok dan Taiwan. Meruntuhkan dinasti dan membuang kaisarnya, invasi Jepang, kemudian perang saudara yang brutal telah merobek satu negara menjadi dua. Perang itu tidak pernah berakhir dan sekarang terancam kembali memanas dengan cepat.
Tekanan di forum internasional untuk mengabaikan Taiwan telah meningkat secara dramatis, dan nasib Hongkong terlah menghancurkan harapan akan kompromi damai. Demikian dilansir dari NZ Herald, Minggu (4/10/2020).
“Perang saudara Tiongkok tidak pernah berakhir - ia hanya mengubah cara, mode, dan tempo, dan ‘perang’ terus berlanjut hingga hari ini,” kata pensiunan analis CIA John Culver. “[Bahwa] perang saudara Tiongkok yang belum selesai akan muncul kembali bukan hanya sebagai pertarungan militer. Sepertinya, dari saat penembakan dimulai, perang saudara Tiongkok yang belum selesai akan berhenti menjadi perang Tiongkok-AS.”
Selama ini yang diinginkan oleh Tiongkok adalah: membuat bangsa Tiongkok kembali bersatu, menundukkan oposisi di Xinjiang dan Tibet, mengontrol Laut Cina Selatan, dan lokasi-lokasi strategis tertentu di pulau-pulau Laut Cina Timur, mendapatkan kembali Hong kong, dan reunifikasi Taiwan dengan daratan di bawah kekuasaan Partai Komunis Tiongkok.
“Orang Tiongkok berharap untuk mencapai sebagian besar tujuan mereka dengan menggunakan pengaruh ekonomi mereka yang berkembang. Sampai saat ini mereka cukup sukses” kata Robert Kagan, analis kebijakan luar negeri Institut Brookings.
Dunia sangat ingin mendukung pertumbuhan ekonomi Tiongkok, tetapi rentetan krisis telah mengakhiri mimpi itu. Hubungan Beijing dengan tatanan dunia yang mapan telah rusak.
“[Ini] karena kekuatan ekonomi dan militer Tiongkok yang sedang berkembang, konsolidasi demokrasi Taiwan yang dipimpin oleh DPP Pro-otonomi (Partai Progresif Demokratik), dan tekad AS yang berkembang untuk memainkan ‘kartu Taiwan’ dalam persaingannya dengan Tiongkok.”
Kagan juga menuliskan bahwa Xi sekarang telah memutuskan untuk mengakhiri sandiwara Hongkong untuk selamanya, yang juga memiliki implikasi tidak menyenangkan bagi Taiwan. Kagan juga menambahkan bahwa Tiongkok bisa saja melancarkan serangan rudal terhadap Taiwan dalam 24 jam pertama konflik, meninggalkan Taiwan pada pilihan antara menyerah atau meminta pertolongan dan melihat apakah AS akan tiba tepat waktu demi mencegah kehancuran total.
Tetapi Culver tidak yakin perang adalah satu-satunya pilihan Tiongkok. Ia juga menambahkan bahwa Tiongkok pada tahun 2005 telah meletakkan dasar untuk penggunaan “hukum anti-pemisahan”, bukan “hukum penyatuan kembali.”
Penggunaan istilah itu dibuat dengan hati-hati, bertujuan untuk melestarikan status quo: Jika Taiwan merdeka, maka akan terisolasi dari komunitas dunia. Dan hal itu juga memungkinkan Xi Jinping untuk melanjutkan kampanye mengubah AS sebagai “Pengganggu dunia”, bukan “polisi dunia”.
Culver juga menambahkan, jika perang sampai terjadi, maka Taiwan akan menjadi medan pertempuran pertama dari operasi tempur antara dua kekuatan militer terkuat di dunia dalam perang yang dengan cepat akan menjadi perhentian dari otonomi Taiwan, kemakmuran, kehidupan, dan mata pencaharian 24 juta penduduknya.
Implikasi perang sangat dalam dan amat besar. Bagi Tiongkok, konflik seperti itu adalah tentang legitimasi dan kelangsungan hidup, serta kembalinya Tiongkok sebagai kekuatan dominan di Asia Timur, namun bisa saja tetap menjadii pilihan bagi Partai Komunis Tiongkok. Jika Xi Jinping mencoba merebut Taiwan dan berhasil, maka akan menjadi pencapaian bersejarah yang penuh risiko, jika gagal, maka akan menjadi bencana besar baik bagi Xi dan rezimnya.
Bagi AS, ini akan memberikan pilihan Hobessian: campur tangan dalam konflik terbuka, konflik yang menghancurkan secara finansial dengan tenaga nuklir untuk pertama kalinya dan beresiko mengalami kerugian pertempuan yang paling parah, atau dianggap berdiri menyamping dalam menghadapi serangan terhadap demokrasi yang dinamis dan 24 juta warganya.”
Jika menilik kembali sejarah, AS sangat ingin membendung gelombang komunisme setelah Perang Dunia 2. Namun keputusan AS untuk tidak mendukung pemimpin Kuomintang (Partai Nasionalis Tiongkok) yang tidak terkenal dan sangat korup, Chiang Kai-shek- sekutu Perang Dunia 2 - dalam perang saudara Tiongkok telah mempercepat kemanangan Partai Komunis Tiongkok di sana.
“Selama 40 tahun terakhir, karena komitmen AS yang tidak mendukung kemerdekaan Taiwan atau meninggalkan bekas sekuturnya, Tiongkok mengubah prioritas perangnya dengan Taiwan untuk membangun hubungan lintas selat,” kata Culver. (*)
Advertisement