Lama Baca 3 Menit

Makanan Bakcang dan Nilai Filosofis

12 June 2021, 12:53 WIB

Makanan Bakcang dan Nilai Filosofis-Image-1

Bakcang - Image from Smartway

Jakarta, Bolong.id -  Bakcang atau bacang (Hanzi: 肉粽, hanyi pinyin: ròuzòng) makanan tradisional Tionghoa. Secara harfiah, bak artinya daging dan cang adalah berisi daging.

Meskipun ada juga, selain berisi daging, melainkan sayur-sayuran atau yang tidak berisi sama sekali. Yang berisi sayur-sayuran disebut chaicangchai adalah sayuran dan yang tidak berisi biasanya dimakan bersama dengan srikaya atau gula disebut kicang.

Bakcang dibuat dari beras ketan sebagai lapisan luar; daging, jamur, udang kecil, seledri, dan jahe sebagai isi. 

Bumbunya garam, gula, merica, penyedap makanan, kecap, dan sedikit minyak nabati.

Makanan yang dibungkus daun ini tidak menggunakan sembarang daun. Pembungkus daun biasanya dipilih daun bambu panjang dan lebar yang harus dimasak terlebih dahulu untuk proses detoksifikasi.  

Bakcang biasanya diikat berbentuk limas dengan jumlah sudut 4.

Dalam kepercayaan masyarakat Tionghoa, bacang diperingati secara khusus dalam festival hari bacang. 

Bacang kali pertama muncul pada zaman Dinasti Zhou (1066 SM - 221 SM), berkaitan dengan peristiwa bunuh dirinya Qu Yuan dengan melompat ke Sungai Miluo. 

Pada saat itu, rakyat sekitar melemparkan bacang ke dalam sungai untuk mengalihkan perhatian makhluk-makhluk di dalamnya supaya tidak memakan jenazah Qu Yuan. 

Kemudian, bakcang menjadi salah satu simbol perayaan Peh Cun atau Duanwu.

Bukan hanya menarik sejarahnya, bentuk penganan yang memiliki empat sudut itu menyimpan makna filosofis. 

Sudut pertama berarti zhi zu memiliki arti merasa cukup dengan apa yang dimiliki, atau bermakna bahwa orang tidak boleh serakah.

Sudut kedua adalah gan en atau bersyukur. Artinya, orang tidak boleh iri dengan apa pun yang dimiliki sesamanya. 

Sudut ketiga berarti shan jie atau pikiran positif. Maksudnya, orang harus menilai sesamanya dari sisi baik.

Sisi terakhir dari bakcang yakni sisi keempat adalah bao rong yang berarti merangku. Ini dimaksudkan supaya manusia mampu mengembangkan cinta kasih kepada sesama. (*)