Ilustrasi keluarga sedang merayakan Lebaran Idul Fitri - Image from cdn1-production-images-kly.akamaized.net
Jakarta, Bolong.id - Lebaran adalah peristiwa penting bagi Muslim di Asia Tenggara, khususnya Indonesia.
Dilansir dari detik.com, di negara-negara muslim lain, Idul Fitri disambut sederhana dan lebih dimaknai sebagai hari kembalinya kemurnian jiwa.
Di Indonesia, Lebaran menjadi peristiwa campur baur antara peristiwa keagamaan dengan tradisi. Pemaknaan dari Idul Fitri tak cukup diartikan sebagai hari kembalinya kemurnian jiwa, seperti di tempat lainnya, tapi juga dimaknai sebagai hari Lebaran atau hari Bakdan lalu dikuatkan lagi sebagai 'hari kemenangan'.
Dalam sebuah artikel yang dibuat oleh MA. Salmun pada majalah “Sunda” tahun 1954, istilah lebaran ini berasal dari tradisi Hindu yang berada di Jawa. Yang mana kata “Lebaran” tersebut memiliki arti yaitu selesai, usai, atau pun habis.
Hari kemenangan juga sering bergeser pada pemaknaan kurang tepat. Hal tersebut karena ungkapan kemenangan bagi sebagian orang yang tak selalu diikuti dengan rasa syukur dan kerendah hatian, namun justru sering kali di dalamnya terselip rasa 'mumpung' dan rasa ingin 'balas dendam' setelah puasa. Yakni, bakal makan banyak.
Dalam pemaknaan, Idul fitri dapat diartikan sebagai kembali kepada kesucian dan saling memaafkan. Adanya sebuah tuntunan bahwa meminta maaf kepada kedua orang tuanya harus didahulukan sebelum kepada orang lain, telah menciptakan sebuah gelombang migrasi manusia yang begitu dahsyat di negeri ini.
Gelombang perjalanan massal yang kemudian sering disebut mudik, tercatat sebagai peristiwa migrasi manusia terbesar yang pernah terjadi di muka bumi setiap tahunnya.
Ada sisi positif dari tradisi mudik tersebut. Dengan fenomena mudik, sadar atau tidak kita telah telah masuk dalam peristiwa sangat penting berupa reuni akbar anak manusia.
Mudik tidak hanya bertemu orang tua dan keluarga inti, tetapi mudik membuat umat muslim bertemu dengan sanak saudara, handai-taulan, kerabat besar, teman sepermainan, bahkan jika sempat akan 'bertemu' dengan para leluhur yang sudah sumare di pemakaman.
Dengan demikian maka mudik, yang arti harfiahnya menuju ke udik atau kawasan hulu atau tempat asal, telah menuntun pada bersatunya kembali pada asal-muasal. Memahami kembali proses penciptaan, menghayati lebih jauh tentang konsep sangkan paran.
Namun bukannya kemudian tanpa ekses negatif dari fenomena kumpul bersama atau reuni anak manusia di masa Lebaran. Situasi sosial dan pengertian lebaran tadi seringkali mendorong orang untuk abai makna Idul Fitri. Banyak orang yang kemudian 'mengada-adakan' sesuatu secara berlebihan untuk bisa hadir dalam suasana reuni tersebut.
Ditambah, tahun ini adalah tahun mudik akbar. Istilah ini sepertinya kurang tepat secara makna namun secara umum sering dipakai untuk menyebut bahwa ini adalah luapan pergerakan arus manusia setelah dua lebaran sebelumnya ada larangan mudik akibat pandemi.
Banyak harapan agar kebijakan pelonggaran mudik kali ini lebih berdampak pada kembali bergeraknya roda ekonomi rakyat, terhindar dari potensi mewabahnya lagi COVID-19 karena memang pandemi belum usai.
Peristiwa lebaran masih jauh dari pemaknaan dari sikap penghayatan dari nilai-nilai keagamaan. Peristiwa lebaran lebih kuat tampil sebagai peristiwa tradisi.
Namun, tidak juga jika penyebutan bahawa sebagai tradisi maka peristiwa ini harus dihindari. tetapi akan lebih menggembirakan lagi jika peristiwa reuni akbar disambut dengan semangat keidulfitrian, bukan semangat orang lebaran atau gegap gempita bakdan yang sering bertipu daya.(*)
Advertisement