Amerika, sebelumnya dengan enteng meremehkan virus COVID 19. Pernyataan Presiden Trump pada tanggal 9 Maret 2020 lalu, menyiratkan bahwa Tiongkok terlalu berlebihan dalam menanggapi penyebaran COVID 19 dengan dilakukannya lockdown. Bahkan Presiden Trump dan beberapa politisi lainnya berulang kali menggunakan istilah “Virus Tiongkok” yang merujuk pada COVID 19. Hal ini mengundang reaksi keras dari Tiongkok. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga sempat memperingatkan untuk tidak menggunakan istilah berbau rasisme dalam penyebutan COVID 19.
Sementara itu, menurut media Amerika Serikat, pada tanggal 20 Maret 2020, Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih meminta semua agen federal untuk menyatukan diri mereka dan mengklaim bahwa Tiongkok berencana untuk menutupi kasus COVID 19, yang berujung pada pandemi global. Geng Shuang, perwakilan dari Departemen Informasi Kementerian Luar Negeri Republik Rakyat Tiongkok pada tanggal 23 Maret 2020, menekankan bahwa Tiongkok telah secara teratur menginformasikan siapapun dan negara-negara lain termasuk Amerika Serikat sejak 3 Januari 2020 silam. Geng Shuang juga menyebutkan bahwa dalam kurun waktu 50 hari, jumlah kasus positif COVID 19 di Amerika meningkat hingga 30 ribu kasus, dia mempertanyakan langkah efektif apa yang telah diambil Amerika dalam penanganan COVID 19 ini.
Media Tiongkok CCTV juga menuntut pemerintah Amerika Serikat untuk menjelaskan tiga pertanyaan seputar pandemi COVID 19 kepada publik. Pertama, sebenarnya, terdapat berapa banyak kematian COVID 19 yang tertutupi oleh 20 ribu kematian akibat flu di Amerika? Kedua, mengapa Amerika tiba-tiba menutup pangkalan senjata kimia dan biologi di Maryland, pada Juli 2019, dan apakah ada hubungan di antara maraknya kasus flu di Amerika pada akhir tahun 2019 dan munculnya COVID 19 di Wuhan? Ketiga, CCTV juga mempertanyakan lambannya respon Amerika dalam menangani COVID 19, begitu pula politisi Amerika yang cenderung kapitalis, serta pemerintah Amerika yang baru mengumumkan keadaan darurat pada tanggal 13 Maret 2020 sehingga Tiongkok juga harus membayar harga yang mahal dalam penanganan COVID 19 ini.
Tidak bisa dipungkiri, dunia telah berduka dengan semakin banyaknya pasien terjangkit COVID 19 dan jumlah korban jiwa yang semakin meroket tiap harinya. Per 23 Maret pukul 18.00, sudah terdapat lebih dari 334 ribu kasus positif COVID 19 dengan korban jiwa sebanyak 14.652 orang, total terdapat 189 negara dan teritori yang telah terjangkit oleh virus ini. Berlangsungnya perseteruan ini, berujung pada renggangnya hubungan Tiongkok-Amerika yang semakin dipenuhi oleh tindakan saling tuduh-menuduh, salah-menyalahkan. Padahal, dalam situasi seperti ini, seharusnya negara-negara di seluruh dunia perlu bekerja sama dalam memerangi COVID 19 yang masih mewabah di seluruh dunia ini.
Editor: Aisyah Hidayatullah
Advertisement