Ilustrasi persaingan ekonomi China-AS - Image from China daily
Jakarta, Bolong.id - Pusat Penelitian Ekonomi dan Bisnis (CEBR) dari Inggris memperkirakan Produk Domestik Bruto (PDB) Tiongkok akan tumbuh sebesar 5,7 persen per tahun hingga 2025 dan kemudian 4,7 persen setiap tahunnya hingga 2030.
Dengan angka tersebut, Tiongkok, yang sekarang merupakan negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia, diprediksi akan mengambil alih posisi teratas yang dipegang Amerika Serikat (AS) pada 2030. Perusahaan asuransi kredit Euler Hermes juga membuat prediksi serupa.
Lalu, apa artinya jika Tiongkok menyalip ekonomi AS?
Para ekonom mengatakan, sebenarnya status sebagai negara dengan ekonomi terbesar di dunia tidak memberikan keuntungan otomatis atas yang lain. Namun, tiap-tiap langkah yang dilakukan Tiongkok pun tentu akan semakin menyita perhatian negara-negara dunia, terutama yang menggantungkan ekonominya pada negerti Tirai Bambu tersebut.
“Tidak ada medali emas atau semacamnya,” kata McWilliams dari CEBR kepada kantor berita VOA.
“Namun ketika Anda memiliki lebih banyak uang untuk dibelanjakan, Anda memiliki kemampuan untuk memengaruhi berbagai hal, dan Tiongkok akan memiliki kemampuan untuk memengaruhi berbagai hal.”
Tiongkok akan berada pada posisi yang lebih baik, katanya, untuk memajukan proyek Inisiatif Sabuk dan Jalan miliknya (Belt and Road Initiative). Inisiatif tersebut adalah upaya yang telah dilakukan selama sembilan tahun untuk membangun jalur perdagangan darat dan laut melalui Asia, Eropa dan Afrika dalam bentuk proyek infrastruktur dan investasi.
Denny Roy dari East-West Center, sebuah Think Tank di Honolulu, turut mengatakan bahwa pejabat di Beijing sudah
memanfaatkan ekonomi mereka dalam perselisihan dengan negara lain. Sebagai contohnya, Tiongkok bersaing dengan empat negara di Asia Tenggara dalam perselisihan Laut Tiongkok Selatan dan menghadapi kebuntuan teritorial dengan India sejak 2017.
“Hasil dari ekspektasi tersebut (Tiongkok melampaui AS secara ekonomi) adalah kebijakan luar negeri Tiongkok yang akan lebih berani dan berupaya menyelesaikan perselisihan regional demi keuntungan Tiongkok serta mendelegitimasi kepemimpinan regional dan global AS dengan asumsi bahwa Tiongkok akan menjadi penentu aturan baru hubungan internasional, ” pungkas Roy.
Advertisement