Lama Baca 7 Menit

Pelajar Mongolia Dalam Protes Kebijakan Penggunaan Bahasa Mandarin

04 September 2020, 10:41 WIB

Pelajar Mongolia Dalam Protes Kebijakan Penggunaan Bahasa Mandarin-Image-1

Pelajar di Mongolia Dalam Protes Kebijakan Bahasa Mandarin - Image from KT

Taipei, Bolong.id - Dilansir dari AP News (3/9/20), etnis Mongolia di wilayah Mongolia Dalam Tiongkok protes pendidikan dwibahasa baru, yang mereka katakan dapat mengancam bahasa Mongolia. Tindakan semacam ini jarang mereka lakukan.

Seorang siswa sekolah menengah di kota Hulunbuir mengatakan, siswa berhamburan ke luar sekolah pada Selasa (1/9/20) dan menghancurkan pagar, sebelum pihak keamanan menyerbu dan mencoba mengembalikan mereka ke dalam kelas.

“Kami siswa senior berbicara dan kami pikir kami harus melakukan sesuatu,” ujar siswa bernama Narsu, yang seperti kebanyakan orang Mongolia yang namanya hanya satu kata. 

“Meskipun ini tidak secara langsung memengaruhi kami di saat ini, tapi hal ini akan berdampak besar pada kami di masa depan.”

Kebijakan, yang diumumkan pada Senin (31/8/20) menjelang dimulainya tahun ajaran baru, mengharuskan sekolah untuk menggunakan buku teks nasional terbaru dalam bahasa Tiongkok, menggantikan buku teks berbahasa Mongolia. 

Para pengunjuk rasa mengataka, mereka mengetahui demonstrasi dan pemogokan ruang kelas di Hohhot, ibu kota provinsi, serta di kota Chifeng dan Tongliao dan prefektur Xilin Gol.

Pelajar Mongolia Dalam Protes Kebijakan Penggunaan Bahasa Mandarin-Image-2

Orang tua menghadapi pihak berwenang di luar sekolah di Tongliao, Mongolia Dalam (Agustus 2020)- Image from AP

Nuomin, ibu seorang siswa taman kanak-kanak di Hulunbuir, mengatakan dia melihat polisi di tempat-tempat yang biasanya tidak dia lihat dan terdapat penghalang besi di depan sekolah. Dia telah menahan anaknya di rumah sejak Senin (31/8/20).

“Banyak dari kita orang tua akan terus menjaga anak-anak kita di rumah, sampai mereka membawa orang-orang (yang melakukan unjuk rasa) kembali ke kelas itu,” katanya.

Pada 2017, Partai Komunis yang berkuasa membentuk komite untuk merombak buku teks di seluruh negeri. Buku teks yang direvisi telah dikeluarkan selama beberapa tahun terakhir.

Kebijakan baru untuk Mongolia Dalam, provinsi utara yang berbatasan dengan Negara Mongolia, memengaruhi sekolah yang bahasa pengantar utamanya adalah bahasa Mongolia.

Kelas sastra untuk siswa sekolah dasar dan menengah di sekolah berbahasa Mongolia akan beralih ke buku teks nasional dan diajarkan dalam bahasa Tiongkok, Mandarin.

Tahun depan, kelas politik dan moralitas juga akan beralih ke bahasa Mandarin, seperti kelas sejarah yang akan mulai tahun 2022. Kelas-kelas lainnya, seperti matematika, tidak akan mengubah bahasa pengantar mereka.

Siswa juga akan mulai belajar bahasa Mandarin di kelas satu. Sebelumnya, mereka mulai mempelajarinya di kelas dua.

Perubahan serupa terjadi di wilayah etnis lain. Di Tibet dan Xinjiang, bahasa pengantar utama di sekolah tersebut telah diubah menjadi bahasa Mandarin, dan bahasa minoritas ada di kelas bahasa.

Biro pendidikan di Mongolia Dalam tidak segera menanggapi permintaan komentar melalui faksimili.

Tiongkok telah mengubah pendidikan di bawah model baru asimilasi ke dalam budaya mayoritas Han yang meninggalkan kebijakan yang diilhami Soviet dalam mempromosikan pendidikan bahasa minoritas.

Presiden Xi Jinping (习近平) pernah mengatakan, jika orang tidak berbicara dalam bahasa yang sama, sulit untuk berkomunikasi dan mencapai pemahaman.

“Sekolah etnis minoritas, jika mereka mempelajari bahasa komunikasi dengan baik di negara ini, akan sangat bermanfaat bagi mereka dalam pekerjaan, dalam mempelajari ilmu pengetahuan dan budaya modern serta memungkinkan mereka untuk berintegrasi ke dalam masyarakat,” katanya saat Konferensi Pekerjaan Etnis Pusat 2014. Kata-katanya dikutip dalam dokumen kebijakan terbaru.

Namun bagi etnis Mongolia, arahan baru ini menciptakan ketakutan bahwa mereka akan kehilangan bahasa ibu mereka.

Di Kota Tongliao, orang tua memutuskan untuk membawa anak-anak mereka pulang dari sekolah asrama pada Senin (31/8/20). Banyak orang tua baru mengetahui tentang kebijakan tersebut setelah mereka mengantar anak-anak mereka ke sekolah, kata Nure Zhang, seorang penduduk Tongliao.

Tetapi pihak berwenang di satu sekolah dasar, yang didukung oleh polisi, menolak untuk membiarkan orang tua membawa pulang anak-anak mereka, menurut Zhang, yang menghadiri protes tersebut.

Ada banyak bentrokan saat orang tua dan yang lainnya bergegas ke arah polisi, mencoba masuk ke sekolah, kata Zhang. “Mereka memblokir kami. Kami terus bernyanyi dan meneriakkan slogan-slogan,” katanya. Polisi menggunakan semprotan merica dua kali pada para pengunjuk rasa, tambahnya.

Pada pukul 9 malam (waktu setempat), kepala sekolah dan pejabat setempat mengatakan bahwa orang tua boleh membawa pulang anaknya.

Saat ini sekolah menengah Mongolia duduk tenang di Tongliao. Pemimpin Partai Komunis setempat telah mengunjungi setiap keluarga untuk membujuk para siswa kembali, kata Zhang.

Polisi Tongliao pada Rabu (2/9/20) menyerukan untuk membantu penyelidikan mereka atas insiden "berselisih dan menimbulkan masalah" yang terjadi pada Senin (31/9/20), dan memperingatkan bahwa "siapa pun yang terlihat berkumpul di depan umum, akan diselidiki secara menyeluruh oleh organ keamanan publik."

Polisi meminta publik dalam postingan WeChat agar memberikan informasi tentang lebih dari 100 orang, menawarkan hadiah senilai CNY 1000 yuan (USD150, setara dengan Rp2,1 juta).

Pihak berwenang telah melarang platform media sosial populer berbahasa Mongolia yang disebut Bainu.

Orang tua bernama Zhang mengatakan, dia sudah merasa mereka sangat dipengaruhi oleh (etnis) Han, yang merupakan 79% dari 25 juta penduduk Mongolia Dalam, menurut data sensus terbaru dari 2015. Etnis Mongolia mencapai 17%.

“Sekarang kelas bahasa Mandarin adalah kelas sastra, bahasa Mandarin adalah bahasa utama dan bahasa Mongolia telah menjadi bahasa pelengkap," katanya. "Jika ini terus berlanjut selama 10 tahun, 20 tahun kemudian, bahasa kita perlahan akan dilupakan." (*)