Webinar Demokrasi Timur Berjaya (?) - Image from dok. Bolong.id
Bolong.id - “Boleh dikata, demokrasi kita dalam pelaksanaannya super liberal. Lebih liberal dari Amerika Serikat, yang demokrasinya sendiri sedang mengalami kemunduran.”
Demikian jurnalis senior Abdul Kohar membuka diskusi ‘Demokrasi Timur Berjaya(?)’ sebagai moderator di CGV Grand Indonesia, Jakarta, Rabu, 8 Desember 2021. Diskusi publik ini membahas soal pelaksanaan demokrasi di Indonesia yang dinilai mulai kebarat-baratan.
Anggota dewan redaksi Media Group ini juga melihat bahwa kemunduran demokrasi di Amerika Serikat – bedasarkan survei sejumlah lembaga riset global – patut menjadi perhatian bagi Indonesia sebagai penganut sistem demokrasi, dan laik untuk didiskusikan.
Hadir sebagai narasumber dalam diskusi tersebut yaitu Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil dan Peneliti CSIS Arya Fernandes. Sementara yang terlibat secara tatap maya yaitu Guru Besar UI Prof. Rhenald Kasali, pakar hukum internasional yang juga Rektor Universitas Jenderal Ahmad Yani (Unjani) Prof. Hikmahanto Juwana, dan Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dardak.
Melihat gejala ini, Emil Dardak yang mengawali pemaparannya dalam diskusi ini, mengatakan, Indonesia perlu menilik kembali makna demokrasi nusantara dan memeperbaiki praktik demokrasi di tanah air dengan lebih mengedepankan nilai- nilai ketimuran dan Pancasila.
“Yang jelas demokrasi kita harus dijalankan sesuai dengan nilai gotong royong, kolaborasi dan kesantunan,” ucapnya. Demokrasi liberal ala barat yang hidup dengan jargon ‘winner take all’, lanjut Emil, jelas menjauhkan kita dari semangat kekeluargaan ala Indonesia.
Meski begitu, Peneliti CSIS Arya Fernandez menambahkan, bukan berarti sistem demokrasi adalah sistem yang salah bagi negara-negara Asia.
Menurut Arya, indeks demokrasi di Indonesia memang sempat menurun. Ini salah satunya terjadi pada memburuknya sistem kepartaian kita yang tampak pada tiga aspek, yakni, lemahnya representasi, menguatnya personalisasi politik, dan tidak adanya demokrasi internal partai.
“Meski demikian, dukungan publik terhadap demokrasi di Indonesia masih cukup tinggi dibandingkan sistem lainnya. Bila diambil rata rata dari data panel sejak Juni 2012-November 2021, tingkat dukungan publik terhadap demokrasi sebesar 64%. Dalam kasus Indonesia, sejak reformasi dan adanya otonomi daerah, terjadi peningkatan Indeks Pembangunan Manusia, meningkatnya akses ke sekolah, dan menurunnya angka kemiskinan,” kata Arya.
Sementara Anggota DPR RI Nasir Djamil mengatakan, sejatinya demokrasi memunculkan risiko, yakni lahirnya ignorance leadership atau pemimpin yang kurang berpengatahuan. Apalagi jika demokrasi dijalankan berdasarkan transaksional atau rupiah.
“Perjalanan demokrasi itu sangat ditentukan rasa tanggungjawab. Bisa jadi menurunnya demokrasi karena menurunnya tanggung jawab. Juga perlu penguatan lembaga –lembaga yang menunjang demokrasi,” ucapnya.
Menurut Nasir, problem terbesar demokrasi Indonesia hari ini adalah belum mampu menangani kemiskinan, kebodohan dan ketidkaadilan sosial. Jadi, katanya, memang masalah demokrasi itu lumrah dan selalu ditemukan di negara demokrasi.
“Amerika Serikat yang sudah 100 tahun mempraktikan demokrasi saja masih mengalami masalah. Apalagi kita, yang tergolong masih baru,” kata Nasir dalam diskusi yang digagas oleh What’s Viral ini.
Sementara bagi Prof. Rhenald Kasali, suksesnya sistem demokrasi ala barat yang merangsek ke dunia timur menjadi glorifikasi atas pemikiran masyarakat barat, yang musuh mereka saat itu adalah nasionalisme yang dianggap menjadi penghambat investasi dan globalisasi.
Pada sisi lain, tambah Rhenald, sistem demokrasi sebenarnya banyak manfaatnya. Salah satunya banyak melahirkan pemimpin yang bekerja untuk rakyat. Tapi persepsi tentang demokrasi pun sebaiknya dipandang beragam. Tidak ada standar yang seragam, apalagi dikesankan ke satu negara tertentu saja.
Rhenald pun sependapat jika ‘biaya demokrasi’ kita dinilai ‘mahal’ akibat melunturnya nilai musyawarah dan mufakat. Dia memaparkan, menurut catatan Litbang Kemendagri dan Kompas, biaya untuk menjadi wakil rakyat atau pemimpin sangat besar.
“Biaya untuk calon bupati atau walikota mencapai RP20-30 milar, sementara calon gubenrur sekitar Rp20-100 miliar. Untuk calon legislator, mecapai di atas Rp100 miliar padahal tingkat suksesinya di pemilu 2019 hanya sekitar 7,5% saja. Sementara untuk menjadi lurah di desa ataupun ketua RW di perkotaan, seseorang harus memiliki modal minimal Rp20-40 juta. Padahal kasus korupsi terus meningkat," paparnya.
Mungkin sistem politik kita harus diubah agar bagaimana pembiayaannya dan enforcementnya bisa lebih efektif. KPK mencatat di Pemkab dan Pemkot ada 409 kasus korupsi selama tahun 2014-2019, sebanyak 105 kepala daerah ditangkap. Sistem saat ini menyebabkan biayanya sangat mahal dan akhirnya membuat banyak pemimpin yang bekerja tidak untuk melayani publik dan malah melayani kepentingan sponsor. Inilah kegagalan sistem demokrasi kita yang pelru terus dikritik,” tutupnya.
Senada, Prof. Hikmahanto Juwana menyatakan, setidaknya ada dua hal yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia. “Pertama, mengubah pola pikir bahwa untuk memenangkan pemilihan harus dilakukan dengan kecurangan. Kedua, perlu adanya law enforcement terkait kebebasan pers saat ini dimana banyak media menyebarkan informasi hoaks.”(*)
Informasi Seputar Tiongkok
Advertisement