Masjid Siti Djirzanah di Yogyakarta - Gambar diambil dari Internet, jika ada keluhan hak cipta silakan hubungi kami.
Bolong.id – Masjid megah berdiri tepat di depan Pasar Beringharjo. Masjid Siti Djirzanah di Jalan Margomulyo itu berdiri bagaikan oase, memadukan budaya yang telah lama hidup di Malioboro.
Dilansir dari berbagai sumber, Masjid Siti Djirzanah berdiri setinggi 12 meter di deretan pertokoan sisi barat Malioboro, di antara toko batik Soenardi dan toko elektronik.
Corak bangunan ala Tiongkok sangat melekat pada masjid itu. Fasad masjid dipasangi tulisan berbahasa Mandarin, Qingzhensi yang bermakna masjid.
Di bawahnya ada jam raksasa berbentuk lingkaran. Masjid ini tidak memiliki kubah maupun mustaka laiknya kebanyakan masjid. Bubungannya dibuat menyerupai kelenteng.
Kentalnya arsitektur Tionghoa juga terlihat dari tulisan Arab pada pintu masuk dan dinding masjid bagian depan.
Tulisan arabnya menggunakan kaligrafi, dengan garis tegak lurus, tetapi dibuat berlobang. Dengan begitu, udara dari luar bisa leluasa masuk.
Ornamen dan warna-warni yang cerah juga disematkan pada masjid itu. Meski tidak menggunakan warna merah, warna khas Tiongkok, masjid diselimuti dengan warna biru kuning sehingga ciri khas bangunan Tionghoa.
Masjid ini dibangun di lahan 147 meter persegi masjid oleh keluarga mantan Walikota Jogja Herry Zudiyanto. Pembangunannya didesain dengan konsep Pecinan–Hindia, menyesuaikan sejarah bangunan masa lampau di Malioboro.
Kesan megah terlihat jelas di dalam bangunan. Seluruh dinding masjid itu dilapisi granit impor berwarna biru. Plafonnya didesain untuk dapat menyerap cahaya Matahari sehingga bisa mengurangi pemakaian lampu.
Ukuran masjid ini tidak terlalu luas, sehingga dibuat dua lantai. Lantai atas digunakan untuk jemaah laki-laki dan tempat imam. Adapun di lantai bawah tanah diperuntukkan khusus bagi jemaah perempuan. Sebagian lantai di bagian bawah juga disediakan tempat untuk mengambil wudu. Masjid ini bisa menampung 200-an orang.
Keinginan Herry Zudianto untuk membangun masjid di Malioboro datang secara spontan sekitar 2015 atau selepas ibundanya, Siti Djirzanah meninggal dunia. Sebagai mantan orang nomor satu di Kota Jogja, dia memahami betul tingginya kebutuhan salat bagi pengunjung dan masyarakat ketika beraktivitas di Malioboro.
Kawasan ini masih menjadi magnet utama pariwisata di DIY yang belum tergantikan.
aka dari itu Herry bermusyawarah dengan kedua adiknya Ellys Yudhiantie dan Rudi Sastyawan. Setelah keluarga mencapai kata mufakat, Herry mencari lahan bekas toko di Malioboro untuk mewujudkan cita-cita membangun masjid. Setali tiga uang, ada toko yang hendak dijual. Daripada jatuh ke tangan orang lain, Herry kemudian membelinya.
Karena bangunan masjid berada di kawasan sumbu filosofi, desain bangunannya juga melibatkan Dewan Pertimbangan Pelestarian Warisan Budaya (DP2WB) DIY. Desain masjid diajukan ke DP2WB pada Oktober 2016 lalu sementara proses pembangunan masjid dimulai sejak 2017.
Dia tak henti-hentinya bersyukur karena masjid itu sudah dimanfaatkan oleh masyarakat. Mimpinya untuk menyediakan tempat ibadah yang tidak kalah mentereng dengan bangunan di kawasan Malioboro sudah terwujud.
“Saya dibesarkan di Malioboro, adik-adik saya juga, saya ikut eyang, ikut orangtua juga. Saya jadi begini karena dulu juga pernah jadi PKL di Malioboro. Saya jualan mercon,” kata dia sambil tertawa.
Nama Siti Djirzanah dipakai sebagai wujud bakti Herry dan kedua adiknya. Dia tak bersedia menjawab besaran anggaran yang dikeluarkan mendirikan tempat ibadah itu. (*)
Informasi Seputar Tiongkok
Advertisement