Kondisi PSBB - Gambar diambil dari Internet, jika ada keluhan hak cipta silakan hubungi kami.
Bolong.id – Epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono menilai Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) mikro tidak akan seefektif Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam menekan lonjakan kasus COVID-19.
Dilansir dari berbagai sumber, Pasalnya, kata dia, wewenang pelaksanaan dan keputusan PPKM berada di tangan pemerintah pusat melalui Presiden Joko Widodo dan Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN).
Sementara keputusan dan pelaksanaan PSBB berada langsung di tangan kepala daerah. Menurut Pandu, kebijakan ini jauh lebih ideal penerapannya di lapangan.
"Yang bisa menguasai lapangan atau wilayah itu gubernur dan dia punya aparat di wilayahnya, maka dia bisa menggerakkan semua aparat untuk mewujudkan PSBB," kata Pandu.
Ia mengatakan, sistem kewenangan tersebut berbeda mekanismenya dengan penerapan PPKM. Pandu menyebut pemerintah pusat hanya bisa mengimbau dan memiliki keterbatasan menindak pelanggaran PPKM secara langsung, sehingga implementasinya menjadi lemah.
"Makanya jauh lebih efektif [PSBB]. Selama kita dua kali PSBB DKI dan Jabodetabek, itu efeknya keliatan. Setelah 10 bulan atau bahkan seminggu, dua minggu [penerapan PSBB], terjadi penurunan kasus yang signifikan," tuturnya.
Pandu menyayangkan saat ini PSBB sudah tidak lagi diterapkan sebagai senjata melawan pandemi. Ia menduga keputusan ini diambil pemerintah pusat karena konsekuensi ekonomi yang harus dihadapi ketika menerapkan PSBB.
Ia menyoroti polemik tahun lalu ketika DKI Jakarta ingin menerapkan PSBB secara ketat namun dijegal pemerintah pusat. Padahal, Pandu menilai langkah tersebut sudah tepat untuk menekan kasus COVID-19.
"Itu bukan berarti gubernur melawan pemerintah pusat. Dia hanya menjalankan amanatnya yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan," katanya.
Ketika kasus COVID-19 kembali meningkat lagi di DKI Jakarta dan daerah lainnya saat ini, Pandu pun ragu pemerintah bisa optimal memutus mata rantai virus dengan pengetatan PPKM.
Istilah PSBB sendiri mulanya diatur melalui UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Aturan tersebut menyebut keputusan PSBB ditetapkan oleh menteri.
Pada 31 Maret 2020, pemerintah kemudian menetapkan aturan lebih lanjut terkait PSBB melalui Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020.
Aturan tersebut mengatakan gubernur/bupati/walikota mengusulkan pelaksanaan PSBB di wilayahnya kepada menteri kesehatan. Jika disetujui, maka PSBB dapat diterapkan.
Pelaksanaan PSBB juga bisa ditetapkan langsung oleh menteri kesehatan atas pertimbangan atau usul dari ketua pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 (sekarang Satuan Tugas Penanganan COVID-19).
Berkaca pada pengalaman sebelumnya, ketentuan teknis dalam penerapan PSBB sendiri diatur melalui peraturan kepala daerah di masing-masing wilayah.
Pelaksanaan PSBB bersifat lebih ketat karena terdapat beberapa kegiatan yang dibatasi. Meliputi, peliburan sekolah dan tempat kerja, menghentikan kegiatan keagamaan di rumah ibadah, pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum, pembatasan kegiatan sosial budaya, hingga pembatasan moda transportasi.
Meskipun demikian, pembatasan kegiatan-kegiatan dalam PSBB tetap mempertimbangkan kebutuhan pendidikan, produktivitas kerja hingga ibadah penduduk
Menteri Kesehatan melalui Permenkes Nomor 9 Tahun 2020 masih menoleransi beberapa sektor strategis tetap diizinkan untuk beroperasi.
Aturan itu menetapkan pasar ritel modern, (pasar swalayan maupun toko swalayan), apotek, dan tempat makan (warung makan/rumah makan/restoran), tidak ditutup saat wilayah tertentu saat PSBB.
Jangka waktu penerapan PSBB juga dilakukan selama masa inkubasi terpanjang, yaitu 14 hari. Jika masih terdapat bukti penyebaran berupa adanya kasus baru, dapat diperpanjang dalam masa 14 hari sejak ditemukannya kasus terakhir.
Saat ini pemerintah sudah tidak lagi menerapkan PSBB sebagai sistem pembatasan mobilitas masyarakat dan beralih ke penerapan PPKM berskala mikro.
Terbaru, penerapan PPKM mikro dengan sejumlah pengetatan dilakukan mulai 22 Juni hingga 5 Juli 2021.
Berbeda dengan PSBB yang diatur PP, ketentuan teknis PPKM hanya diatur melalui Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2021.
Aturan tersebut bersifat sebagai instruksi dari pemerintah pusat kepada gubernur dan bupati/walikota di seluruh Indonesia agar menjalankan ketentuan PPKM yang ditetapkan pusat.
"Gubernur dapat menetapkan dan mengatur PPKM yang berbasis mikro yang selanjutnya disebut PPKM mikro pada masing-masing kabupaten/kotanya di seluruh desa dan kelurahan sampai dengan tingkat RT/RW yang berpotensi menimbulkan penularan COVID-19 sesuai kondisi wilayah dengan memperhatikan cakupan pemberlakuan pembatasan," tulis instruksi tersebut.
Dalam pengetatan PPKM mikro, pemerintah menerapkan sejumlah aturan yakni WFH 75% dan 25% bekerja dari kantor untuk wilayah zona merah.
Kemudian kegiatan belajar mengajar bagi sekolah di zona merah dilkukan online. Selanjutnya pembatasan restoran 25% dari kapasitas, tempat ibadah tutup di zona merah, dan hajatan masyarakat hanya boleh 25% dari kapasitas. (*)
Informasi Seputar Tiongkok
Advertisement