Lama Baca 4 Menit

Akulturasi Budaya Tionghoa-Nusantara: Wayang Potehi

28 February 2021, 11:50 WIB

Akulturasi Budaya Tionghoa-Nusantara: Wayang Potehi-Image-1

Wayang Potehi - Image from Phinemo.Com

Bolong.id - Bernama wayang potehi, kesenian ini adalah salah satu jenis wayang khas Tionghoa yang berasal dari China bagian selatan. Menurut Pegiat Rumah Cinta Wayang, Dwi Woro Retno, wayang potehi sebagai salah satu warisan budaya bangsa yang sudah hampir punah.

"Kedatangannya di Indonesia melalui suatu perjalanan panjang dari abad ke-5 dan kemudian punah ketika Presiden Soeharto melarang kebudayaan Tionghoa di Indonesia. Namun, demikian adalah satu keberuntungan ketika Presiden Gus Dur menghapus larangan itu dan wayang potehi kembali hadir hanya sayangnya para pelakunya sudah mulai sepuh," kata Dwi dalam webinar beberapa waktu lalu.

Dalam praktiknya, sang dalang akan memasukkan tangan mereka ke dalam kain tersebut dan memainkannya layaknya wayang jenis lain. Kesenian ini sendiri sudah berumur sekitar 3.000 tahun.

Sejarah

Akulturasi Budaya Tionghoa-Nusantara: Wayang Potehi-Image-2

Wayang Potehi bentuk akulturasi Indonesia China - Image from Infopublik.com


Potehi berasal dari kata pou 布 (kain), te 袋 (kantong) dan hi 戯 (wayang). Wayang Potehi adalah wayang boneka yang terbuat dari kain. Sang dalang akan memasukkan tangan mereka ke dalam kain tersebut dan memainkannya layaknya wayang jenis lain. Kesenian ini sudah berumur sekitar 3.000 tahun dan berasal dari Tiongkok.

Menurut sejarah, diperkirakan jenis kesenian ini sudah ada pada masa Dinasti Jin 晉朝 (265-420 Masehi) dan berkembang pada Dinasti Song 宋朝 (960-1279). Wayang Pote hi masuk ke Indonesia (dulu Nusantara) melalui orang-orang Tionghoa yang masuk ke Nusantara pada sekitar abad 16 sampai 19. 

Data yang sahih berupa catatan awal tentang wayang Potehi di Indonesia, berasal dari seorang Inggris bernama Edmund Scott. Dia pergi ke Banten 2 kali, antara 1602 dan 1625. Ia menyebutkan, pertunjukan sejenis opera, yang diselenggarakan bila jung-jung akan berangkat ke atau bila kembali ke Tiongkok. 

Ia mengamati dengan teliti, bahwa pertunjukan ini berhubungan dengan penyembahan dan biarawan-biarawan mempersembahkan kurban, lalu bersujud di tanah sebelum persiapan. Sandiwara atau selingan itu mereka selenggarakan sebagai kebaktian kepada dewa-dewa mereka. 

Pada awalnya, mereka lazim membakar kurban, para pendetanya berkali-kali berlutut, satu demi satu. Sandiwara ini biasa diadakan, apabila mereka melihat jung atau kapal berangkat dari Banten ke Tiongkok. Sandiwara ini kadang-kadang mulai pada tengah hari dan baru berakhir keesokan paginya, biasanya di jalan terbuka, di panggung yang didirikan untuk maksud itu."

Penjelajah-penjelajah 1-2 abad kemudian menggambarkan bahwa teater ini asli dari Tiongkok, sudah populer di masyarakat-masyarakat perantau di kota pada masa itu. Sayangnya, hanya sedikit keterangan bahasa yang dipakai dalam pertunjukan itu. Juga tidak terdapat teater boneka sarung dari Fujian Selatan, yang dikenal dengan nama po-te-hi, yang kini masih ada di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Menunjukkan bahwa ketika ia melihatnya di Batavia pertunjukan-pertunjukan ini diselenggarakan dalam Bahasa Mandarin. 

Dikutip dari Indonesiakarya.com bahwa Kesenian tradisional ini mengalami pasang dan surut sepanjang perjalanan sejarahnya di bumi Indonesia. Di masa Presiden Soekarno, wayang potehi cukup populer di tengah masyarakat. Tetapi pada awal era Orde Baru, seni wayang ini menghilang dari kehidupan masyarakat. 

Pada masa itu, wayang potehi hanya dipertunjukkan di kalangan terbatas saja. Kesenian ini mulai menggeliat di tengah semangat kebebasan pada era reformasi. Wayang potehi mulai dipentaskan di berbagai tempat, bahkan merambah ke pusat-pusat perbelanjaan, khususnya saat Tahun Baru Imlek. (*)