Donald Trump dan Joe Biden, Capres AS - gambar diambil dari internet, segala keluhan mengenai hak cipta, dapat menghubungi kami
Jakarta, Bolong.id - Para pemimpin Asia Tenggara diyakini memantau pemilihan presiden Amerika Serikat minggu depan. Untuk kalkulasi berbagai kemungkinan yang bakal terjadi. dan berdampak terhadap Asia Tenggara.
Analis independen berbasis di Indonesia, Keith Loveard, mengatakan, seandainya Biden menang, akan melihat kembalinya diplomasi "seperti yang kita ketahui" di bawah pendahulu Trump, Barack Obama. Tetapi itu akan membutuhkan waktu "untuk membuat Departemen Luar Negeri AS yang hancur, agar kembali menjadi komplemen penuh", dilansir dari thediplomat.com, Kamis (29/10/2020).
Ratusan posisi utama di Departemen Luar Negeri AS belum diisi di bawah pemerintah Trump. Pemerintah berpendapat bahwa ini bertujuan untuk merampingkan birokrasi, tetapi para pengkritiknya mengklaim langkah tersebut hanyalah pembobolan yang secara drastis mengurangi kemampuan AS di luar negeri.
Jika Biden menang, kebangkitan kebijakan era Obama akan menandai kembalinya "poros" perdagangan militer Asia-Pasifik yang memperkuat hubungan keamanan dengan kawasan Indo-Pasifik, dan mungkin kebangkitan Trans Pacific Partnership (TPP).
Itu akan berdampak langsung pada 10 negara dalam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang menurut Loveard "mungkin akan menarik napas lega karena tidak harus berurusan dengan keanehan Trump".
TPP adalah inti dari "poros" Obama yang menggabungkan 11 negara di Lingkar Pasifik ke dalam pakta perdagangan bebas terbesar di dunia. Ini mencakup sekitar 40 persen dari ekonomi global dan tidak termasuk Tiongkok dan India. Trump membatalkan pakta perdagangan itu setelah menjabat pada tahun 2017.
Sentimen Loveard digaungkan oleh Todd Elliot, seorang analis keamanan Concord Consulting di Jakarta, yang menambahkan bahwa Trump yang kurang memperhatikan Asia Tenggara, terutama sekutu tradisional Washington di kawasan itu, telah membuat kekacauan karena gagal menghadiri sebagian besar rapat dan KTT ASEAN.
“Tampaknya ada kelelahan umum di antara negara-negara di Asia Tenggara terhadap gaya kebijakan luar negeri pemerintah AS yang tidak menentu,” kata Elliot. Negara-negara Asia Tenggara akan terus merasakan dampak persaingan AS-Tiongkok ketika ketegangan di Laut Tiongkok Selatan meningkat, tambahnya, terlepas dari kandidat mana yang menang pada 3 November nanti.
Gavin Greenwood, seorang analis A2 Global Risk, sebuah konsultan keamanan yang berbasis di Hong Kong, juga mengatakan bahwa Asia Tenggara sebagian besar telah diabaikan oleh Trump "di luar beberapa peran langsung”, seperti pemilihan Singapura sebagai tempat pengambilan foto pertemuan antara Trump dan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un.
Greenwood juga menambahkan, kepresidenan Biden akan menghidupkan kembali keterlibatan AS di kawasan itu, sebagian besar melalui kembalinya diplomat profesional ke Departemen Luar Negeri AS yang sebelumnya dikesampingkan.
Kamarulnizam Abdullah, Profesor Keamanan Nasional di Universiti Utara Malaysia juga mengemukakan pendapat mengenai pemilihan presiden AS ini. "Saya punya pandangan yang sangat pesimis, siapa pun yang memenangkan pemilihan presiden AS," katanya. “Posisi Amerika di Asia telah dilemahkan oleh Trump. Jika dia menang lagi, AS akan kesulitan untuk menghormati negara-negara Asia. Tembakan bola api dan kebijakannya yang tidak konsisten terhadap Tiongkok tidak dapat mengembalikan posisi terhormat Amerika di Asia.”
“Dia mencaci para pemimpin daerah, pidato anti-Islamnya juga tidak akan membantu. Faktanya, dia bertanggung jawab atas strategi penahanan Asia terhadap ekspansi Tiongkok," tambahnya.
Kamarulnizam mengatakan bahwa di bawah Biden, strategi penahanan Tiongkok akan berlanjut melalui strategi Indo-Pasifik, tetapi dia juga menambahkan bahwa negara-negara Asia Tenggara tidak nyaman dengan perpecahan Perang Dingin yang dirasakan yang menyiratkan pengambilan pihak antara AS atau Tiongkok.
“Biden perlu berhubungan kembali dengan Asia untuk mendapatkan kembali rasa hormat,” terangnya. “Faktanya, kawasan ini nyaman bekerja dengan Tiongkok meskipun memiliki masalah lama di Laut Tiongkok Selatan. Pertanyaannya adalah apakah Biden dapat memahami pola pikir dan strategi keterlibatan di wilayah tersebut.”
Advertisement