Lama Baca 5 Menit

Ragam Keunikan Suku Li di Pulau Hainan China

22 January 2021, 14:46 WIB

Ragam Keunikan Suku Li di Pulau Hainan China-Image-1

Ragam Keunikan Suku Li di Pulau Hainan China - gambar diambil dari internet, segala keluhan mengenai hak cipta, dapat menghubungi kami

Jakarta, Bolong.id - Jika berkunjung ke Pulau Hainan, Tiongkok, ada sebuah suku unik dengan sejuta budaya. Liburan pun tak selalu mengunjungi tempat indah dan kuliner yang lezat. Sesekali perlu juga menengok kehidupan suku minoritas dengan berbagai tradisi yang unik. Salah satunya kehidupan Suku Li dan Miao di Pulau Hainan.

Hainan adalah pulau terbesar kedua di Tiongkok setelah Taiwan. Pulau ini merupakan rumah bagi kelompok etnis Li dengan populasi sekitar 1,11 juta jiwa. Kebanyakan dari mereka tinggal di dalam dan sekitar Tongze, ibu kota Prefektur Otonomi Hainan Li-Miao, dan Baoting, Ledong, Dongfang dan kabupaten lain di bawah yurisdiksi daerah tersebut. Sementara yang lainnya tinggal di antara masyarakat dari Suku Han dan Hui di bagian lain pulau itu, melansir laman resmi Kementerian Luar Negeri Tiongkok.

Terletak di kaki Pegunungan Wuzhi, kawasan tempat tinggal Suku Li merupakan surga tropis dengan tanah subur dan curah hujan yang melimpah. Pohon kelapa dan pohon karet berjejer di pantai dan masyarakat di beberapa tempat menikmati tiga kali panen padi dalam setahun, juga menanam jagung dan ubi jalar sepanjang tahun. Daerah ini merupakan penghasil utama tanaman tropis seperti kelapa, serai, kakao, kopi, karet, kelapa sawit, jambu mete, nanas, ketela pohon, mangga dan pisang.

Suku Li tidak memiliki naskah tertulis. Bahasa lisan mereka termasuk dalam rumpun bahasa Tiongkok-Tibet. Tetapi banyak dari mereka sekarang berbicara dalam bahasa Mandarin. Selain itu, beragam budaya unik ini bisa ditemui di sini.

Tradisi Memberi Salam

Suku Li & Miao memiliki cara memberi salam yang unik. Bila ada tamu yang akan berkunjung ke sebuah rumah, maka sang pemilik rumah akan menyambut tamu itu dengan cara memegang telinganya. Apabila tamu tersebut membalas memegang telinga si pemilik rumah, artinya ia akan tinggal di rumah itu.

Para Gadis Harus Bisa Menenun

Suku ini juga dikenal dengan hasil tenunannya yang sangat indah. Itu karena semua gadis di Suku Li & Miao harus bisa menenun, kalau tidak, mereka tidak boleh menikah. Konon kabarnya, pada zaman dahulu kala, hasil tenunan yang indah itu tidak dijual, tapi dikhususkan untuk raja-raja.

Perempuan Bertato

Ragam Keunikan Suku Li di Pulau Hainan China-Image-2

Perempuan Bertato - gambar diambil dari internet, segala keluhan mengenai hak cipta, dapat menghubungi kami

Di kalangan Suku Li, para wanita memiliki kebiasaan mentato terutama di wajah, leher, dada, lengan, kaki, dan sebagian juga di perut dan punggung mereka setelah mencapai usia tertentu. Pola tato umumnya mengambil bentuk geometris. Namun, praktik ini semakin langka ditemukan, saat ini hanya wanita yang lebih tua saja yang memiliki tato.

Menghasilkan Beragam Kerajinan

Berbagai kerajinan juga dibuat di sana. Ada kerajinan keramik hingga beragam alat musik. Salah satunya adalah sejenis seruling bernama Lilaluo (利拉罗). Uniknya, mereka tidak meniup seruling ini menggunakan mulutnya, melainkan menggunakan hidung.

Ragam Keunikan Suku Li di Pulau Hainan China-Image-3

Lilaluo - gambar diambil dari internet, segala keluhan mengenai hak cipta, dapat menghubungi kami

Cara Melamar yang Unik

Cara melamar pun sangat unik, jika ingin melamar seorang gadis, wajib bernyanyi di depan rumah yang tertutup. Bila si gadis menyukai nyanyiannya, maka gadis itu akan keluar dari dalam rumah.

Dagangan Tanpa Penjual

Hukum karma sangat dipercayai oleh masyarakat etnis minoritas di Pulau Hainan. Hal ini  terlihat dari cara mereka berjualan. Mereka akan meletakkan barang dagangannya dengan tidak ditunggui. Namun, mereka membuat sebuah papan berisi informasi harga, agar pembeli bisa meletakkan uangnya di tempat yang telah ditentukan. Masyarakat setempat percaya, bahwa setiap orang yang mengambil barang dagangan tanpa membayar, akan mendapat hukum karma yang setimpal dengan perbuatannya. (*)

Aisyah Hidayatullah/Penulis