Sinovac - Image from Reuters
Jakarta, Bolong.id - Pemerintah Tiongkok membagikan vaksin COVID-19 kepada negara-negara miskin. Imbalannya, kerja sama diplomatik jangka panjang.
Dilansir dari AFP pada Kamis (10/12/2020), langkah itu dapat menjadi strategi Tiongkok yang membawa banyak manfaat, di antaranya yaitu mengalihkan kemarahan dan kritik atas penanganan awal Tiongkok terhadap pandemi COVID-19. Selain itu, untuk meningkatkan profil perusahaan bioteknologinya dan memperkuat serta memperluas pengaruhnya di Asia dan sekitarnya.
"Tidak diragukan lagi Tiongkok sedang mepraktikan diplomasi vaksin dalam upaya memperbaiki citranya yang ternoda," kata Huang Yanzhong, seorang rekan senior untuk kesehatan global di Council on Foreign Relations (CFR), kepada AFP.
"Cara itu juga menjadi alat untuk meningkatkan pengaruh Tiongkok di skala global dan mengatasi masalah geopolitik," tambahnya.
Tiongkok telah dikritik karena penangannya terhadap kemunculan virus Corona di Wuhan, dan itu mendorongnya untuk mengeluarkan segala kemampuan untuk mengendalikan wabah COVID-19 di dalam negerinya. Pada bulan-bulan awal pandemi COVID-19, Beijing segera mengekspor jutaan masker dan APD, serta mengirim tim medis untuk membantu sistem perawatan kesehatan yang tegang di Eropa dan Afrika.
Sekarang, dengan perusahaan farmasi besar Barat mulai memasarkan vaksin COVID-19 mereka masing-masing, Tiongkok meluncurkan vaksin versinya sendiri. Saat ini, Tiongkok telah menandatangani perjanjian untuk memasok jutaan dosis vaksin COVID-19, termasuk ke negara-negara yang terkadang memiliki hubungan yang sangat buruk dengan Beijing.
Para diplomat Tiongkok telah menandatangani kesepakatan dengan Malaysia dan Filipina, yang keduanya sebelumnya mengeluhkan tentang ambisi ekspansionis Beijing di Laut Tiongkok Selatan. Pada Agustus 2020, Perdana Menteri Tiongkok Li Keqiang menjanjikan akses prioritas vaksin COVID-19 kepada negara-negara di sepanjang sungai Mekong, di mana kekeringan yang menghancurkan diperburuk oleh pembangunan bendungan Tiongkok di hulu.
"Diplomasi vaksin Tiongkok bukanlah tanpa syarat," kata Ardhitya Eduard Yeremia dan Klaus Heinrich Raditio dalam sebuah makalah yang diterbitkan bulan ini oleh lembaga Yusof Ishak yang berbasis di Singapura.
"Beijing dapat menggunakan sumbangan vaksinnya untuk memajukan agenda regionalnya, terutama pada masalah sensitif, seperti klaimnya di Laut Tiongkok Selatan," tambah mereka.
Menurut Huang dari CFR bahwa langkah Presiden Xi Jinping untuk menawarkan vaksin Tiongkok di seluruh dunia sebagai "barang publik" juga memungkinkan Beijing untuk membentuk citra dirinya sendiri sebagai pemimpin dalam kesehatan global.
Dilansir dari Kontan, kesempatan membentuk citra global itu terbuka lebar, terlebih Donald Trump yang memiliki "doktrin America First" sudah lengser dari jabatannya. Washington telah absen dari aliansi global 189 negara yang telah berjanji untuk mendistribusikan vaksin secara adil. Sementara, Beijing mendaftar pada Oktober ketika pihak farmasi pembuat vaksin meluncurkan uji klinis tahap akhir.
Namun, program ini hanya mengamankan dosis yang cukup untuk 20 persen populasi negara berpenghasilan rendah dan menengah, pada akhir tahun depan, yang menjadi penawaran sebuah peluang komersial.
Tiongkok meningkatkan fasilitas produksi vaksin COVID-19 untuk menghasilkan 1 miliar suntikan dosis pada tahun depan. Setelah sebagian besar telah didistribusikan untuk menjinakkan wabah di dalam negeri, maka akan ada surplus untuk dijual.
Jika Tiongkok dapat menangkap hanya 15 persen pasar di negara-negara berpenghasilan menengah dan rendah, itu akan menghasilkan penjualan sekitar 2,8 miliar dollar AS (Rp 39,5 triliun), menurut perkiraan Essence Securities, sebuah perusahaan pialang yang berbasis di Hong Kong.
"Setiap orang berteriak-teriak meminta vaksin dan Beijing berada dalam posisi yang baik untuk menangkap kesempatan emas," kata seorang analis di perusahaan itu, yang menolak disebutkan namanya.
Penggerak inokulasi global juga membutuhkan fasilitas penyimpanan dan rantai dingin untuk mengangkut dosis vaksin COVID-19. Kirk Lancaster dari CFR mengatakan bahwa proyek-proyek semacam itu cocok dengan dorongan infrastruktur Xi senilai 1 triliun dollar AS (Rp14,1 ribu triliun), yang merupakan bentuk Belt and Road Initiative, yang sebaliknya terpukul karena pandemi.
Raksasa e-commerce Alibaba telah membangun gudang di Ethiopia dan Dubai yang akan berfungsi sebagai pusat distribusi vaksin COVID-19 untuk Afrika dan Timur Tengah. Beijing sedang membangun fasilitas produksi vaksin di negara-negara seperti Brasil, Maroko, dan Indonesia yang telah berpartisipasi dalam uji coba global oleh pembuat obat Tiongkok.
Tiongkok juga telah menjanjikan pinjaman 1 miliar dollar AS (Rp14,1 triliun) kepada negara-negara Amerika Latin dan Karibia untuk mendanai pengadaan. Perusahaan Tiongkok akan dapat mendukung infrastruktur ini lebih jauh, "Semua upaya ini, yang dicap sebagai 'Jalur Sutra Kesehatan', membantu Tiongkok memulihkan reputasi nasionalnya sambil membuka pasar baru bagi perusahaannya," kata Lancaster seperti yang dikutip dari AFP.
Tiongkok memiliki 4 vaksin COVID-19 dalam tahap akhir pengembangan, dan sangat maju dengan pengujian manusia secara massal di sejumlah negara, termasuk Brasil, Uni Emirat Arab, dan Turki. Jutaan orang lainnya di Tiongkok telah menerima suntikan.
Namun, tidak seperti vaksin COVID-19 yang dikembangkan oleh Moderna, AstraZeneca dan Johnson & Johnson, sedikit informasi yang telah dipublikasikan tentang keamanan atau kemanjuran vaksin COVID-19 asal Tiongkok ini.
Otoritas komunis negara yang mengontrol segalanya mulai dari universitas hingga regulator, seperti alergi terhadap pengawasan publik. "Kurangnya transparansi dalam sistem Tiongkok berarti ribuan (di dalam negeri) yang telah menerima vaksin asal Tiongkok tanpa adanya data pengujian yang relevan dipublikasikan," kata Natasha Kassam, analis kebijakan Tiongkok di Lowy Institute.
Dia mengatakan bahwa kekurangan data "akan menyebabkan alarm" selama peluncuran vaksin COVID-19 secara global. Pembuat vaksin COVID-19 asal Tiongkok juga telah memeriksa reputasi, setelah skandal besar yang melibatkan produk kadaluarsa atau kualitas buruk.
Semua itu berarti pembeli dari luar negeri harus berhati-hati. Pelopor vaksin Tiongkok, Sinovac dan Sinopharm, telah mengajukan di muka untuk kurang dari 500 juta dosis pada pertengahan November, menurut data dari konsultan London Airfinity, yang mana pemesannya kebanyakan dari negara-negara yang telah berpartisipasi dalam uji coba vaksin itu.
AstraZeneca, sementara itu, memiliki pesanan di muka untuk 2,4 miliar dosis, dan Pfizer memiliki sekitar 0,5 miliar pesanan. Kepercayaan yang lebih luas di Beijing juga anjlok tahun ini, dengan studi 14 negara oleh Pew Research Center menemukan penurunan tajam dalam persepsi negara. "(Masyarakat) yang semakin tidak percaya pada Tiongkok cenderung tidak mempercayai kandidat vaksin yang dihasilkan," kata Kassam, sebagaimana dilansir dari Kontan.co.id. (*)
Advertisement