Ilustrasi - Image from Breaking Asia
Beijing, Bolong.id - Kecerdasan buatan (AI) bisa menjadi sarana yang bagus untuk bertemu calon kekasih, tetapi menemukan Mr. or Ms. Right masih membutuhkan komunikasi tatap muka dan dari hati ke hati, kata para ahli Tiongkok kepada Global Times setelah warganet Tiongkok mulai bertanya apakah Tiongkok bisa mengikuti penggunaan teknologi AI pemerintah Jepang untuk menemukan pasangan hidup bagi warganya.
Menurut laporan oleh Yomiuri Shimbun pada Senin (7/12/20), pemerintah Jepang mempromosikan proyek perjodohan yang menggunakan AI untuk memasangkan orang. Proyek ini berusaha merekomendasikan mitra berdasarkan potensi kesesuaian antara laki-laki dan perempuan, daripada kondisi seperti usia dan pendapatan.
Berita tersebut mulai menjadi trending di Sina Weibo pada Selasa (8/12/20) dan dengan cepat memicu diskusi hangat di media sosial.
"Mengejutkan bahwa plot dalam novel roman yang saya baca menjadi kenyataan dalam kehidupan nyata, tapi saya masih percaya pada perasaan pribadi saya sendiri daripada mesin tanpa emosi," salah satu netizen Tiongkok memposting di Sina Weibo.
Beberapa netizen Tiongkok bertanya-tanya apakah Tiongkok dapat menggunakan teknologi serupa untuk menyelesaikan masalah tingkat pernikahan Tiongkok yang rendah.
"Baik Tiongkok dan Jepang sama-sama menghadapi masalah yang sama, yaitu rendahnya angka pernikahan dan kelahiran. Mungkin Tiongkok juga bisa mencoba menggunakan AI untuk mendapatkan jodoh," tulis netizen Tiongkok lainnya di Sina Weibo.
Media melaporkan bahwa angka pernikahan di Tiongkok terus menurun sejak 2014, turun dari 13,06 juta pernikahan tahun itu menjadi hanya 9,273 juta pada 2019.
Yuan Xin, seorang profesor di Institute for Population and Development di Nankai University, mengatakan kepada Global Times bahwa dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sosial, teknologi telah diintegrasikan ke dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dalam upaya untuk melayani mereka.
"AI memperkaya jalan untuk kencan buta, tapi mengenai kecocokan antar pasangan masih tergantung pada takdir," kata Yuan.
Peng Xiaohui, seorang profesor seksologi di Central China Normal University, sepakat dengan pendapat Yuan dan menambahkan bahwa AI hanya dapat meningkatkan efisiensi dan menghemat biaya tenaga kerja yang terkait dengan pengaturan kencan buta, tetapi tidak dapat sepenuhnya mengontrol bagaimana perasaan orang terhadap orang lain.
Kedua ahli mencatat bahwa rendahnya tingkat pernikahan di Tiongkok adalah akibat dari gaya hidup masyarakat yang berubah, mahalnya biaya untuk menikah seperti membeli atau menyewa rumah dan membesarkan anak, serta hilangnya kepercayaan diri tentang pernikahan karena tingkat perceraian yang meningkat.
Menurut data yang dirilis Kementerian Urusan Sipil Tiongkok pada September, 4,7 juta pasangan mengajukan gugatan cerai pada 2019. Selain itu, tingkat perceraian mencapai rekor tertinggi pada 2019, meningkat menjadi 3,4 per seribu.
Menurut Yuan, banyak anak muda, terutama mereka yang telah menyelesaikan pendidikan tinggi dan memiliki gaji tinggi, lebih memilih hidup sendiri tanpa beban keuangan atau krisis emosional, yang merupakan faktor lain yang mungkin menyebabkan angka pernikahan rendah.
Di Indonesia sendiri, mencari pasangan melalui aplikasi kencan bukan hal yang baru. Apalagi di masa pandemi COVID-19, penggunaan aplikasi kencan online meningkat. Baik itu untuk mencari teman mengobrol, atau mencari pasangan.
Dilansir dari Kumparan, di Indonesia, aktivitas pengguna Tinder memuncak pada 12 April 2020. Pada hari tersebut, mereka sangat aktif dalam mengirimkan pesan sehingga terjadi kenaikan rata-rata 61 persen lebih banyak.
Ternyata generasi Z lebih aktif dengan rata-rata 64 persen, ketimbang pengguna berusia 26 tahun ke atas.
Selain aktif chatting sama gebetan di Tinder, jumlah swipe antar-pengguna di Indonesia juga bertambah sampai 29 persen. (*)
Advertisement