Ilustrasi Suplemen Penangkal COVID-19 - Image from Pexels
Jakarta, Bolong.id - Studi terbaru menunjukkan, vitamin D memberikan dukungan yang positif dan risiko kematian yang lebih rendah pada pasien yang dirawat di rumah sakit karena terinfeksi COVID-19.
Memiliki tingkat vitamin D yang memadai dikaitkan dengan risiko yang lebih rendah dari komplikasi berbahaya COVID-19, termasuk kadar oksigen yang rendah, tidak sadarkan diri, hingga kematian, menurut sebuah penelitian yang diterbitkan pada 25 September 2020 di PLOS ONE.
Peneliti di Fakultas Kedokteran Universitas Boston (Boston University School of Medicine; BUSM) menganalisis data dari 235 orang yang dirawat di rumah sakit karena COVID-19.
Peneliti mengamati para pasien, menganalisis darah mereka untuk mengetahui kadar vitamin D, penanda peradangan dan limfosit, serta sel darah putih yang membantu melawan infeksi.
Pasien dengan vitamin D yang cukup dalam tubuhnya cenderung tidak mengalami infeksi parah dan kesulitan bernapas. Mereka juga kurang rentan terhadap badai sitokin, respons imun agresif yang terkait dengan peradangan tingkat tinggi yang bisa mematikan.
Dr. Michael F. Holick, penulis utama studi tersebut beserta tim-nya di BUSM menyatakan, “Studi ini memberikan bukti langsung bahwa vitamin D dapat mengurangi komplikasi, termasuk badai sitokin (pelepasan terlalu banyak protein ke dalam darah yang teramat cepat), dan itu (badai sitokin) akhirnya menyebabkan kematian akibat COVID-19,” dikutip dari Forbes.
Secara keseluruhan, pasien dengan vitamin D yang cukup lebih mungkin untuk bertahan hidup. Hal ini terutama berlaku untuk pasien yang berusia di atas 40, yang 50% lebih kecil kemungkinannya untuk meninggal jika mereka memiliki tingkat vitamin D yang cukup.
Dosis yang cukup itu didefinisikan setidaknya 30 ng/mL vitamin D, menurut penelitian.
Dalam studi terpisah, Holick dan tim menemukan bahwa memiliki tingkat vitamin D yang cukup dapat mengurangi risiko tertular COVID-19 hingga 54 persen. Ia juga yakin memiliki kadar vitamin D yang cukup membantu menangkal virus lain yang menyebabkan penyakit saluran pernapasan bagian atas termasuk influenza.
“Karena kekurangan vitamin D begitu marak terjadi pada anak-anak dan orang dewasa di Amerika Serikat dan di seluruh dunia, terutama pada musim dingin. Maka sangat bijaksana bagi setiap orang untuk mengonsumsi suplemen vitamin D demi mengurangi risiko terinfeksi dan mengalami komplikasi dari COVID-19," ujar Holick, dikutip dari Insider.
Meski temuan ini masih diperdebatkan, karena para peneliti tidak sepenuhnya memahami apakah suplemen vitamin D dapat menyebabkan hasil kesehatan yang lebih baik, penelitian secara konsisten mengaitkan kekurangan vitamin D dengan risiko infeksi parah yang lebih besar.
Dilansir dari Forbes, Pada Juli 2020, National Institutes of Health (NIH) merilis pernyataan yang mengatakan "Tidak ada cukup data untuk merekomendasikan, baik untuk mendukung atau menentang penggunaan vitamin D untuk pencegahan atau pengobatan COVID-19."
Namun, selama wawancara pada 10 September 2020, Dr. Anthony Fauci, Direktur Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular berkata, “Jika Anda kekurangan vitamin D, itu berdampak pada kerentanan Anda terhadap infeksi. Jadi saya tidak keberatan merekomendasikannya, dan saya melakukannya sendiri, mengonsumsi suplemen vitamin D.”
Kabar baiknya, vitamin D dapat diproduksi sendiri dalam tubuh saat tubuh kita terpapar sinar matahari, terutama pada pukul 10.00 WIB di pagi hari.
Namun, dibandingkan dengan orang yang memiliki warna kulit pucat, orang dengan warna kulit lebih gelap perlu menghabiskan waktu lebih lama di bawah sinar matahari, karena melanin pada warna kulit lebih gelap dapat memperlambat proses produksi vitamin D.
Jadi, vitamin D memang tidak dapat mengobati seluruh penyakit, terlalu banyak vitamin D pun dapat menyebabkan efek samping yang serius. Namun vitamin D dapat menjadi pilihan yang sehat untuk mendapatkan cukup nutrisi, baik melalui sinar matahari, suplemen, atau dalam diet dengan makanan seperti telur, ikan, hati, dan jamur. (*)
Advertisement