Qing Ming - Image from pinimg.com
Jakarta, Bolong.id - Di dalam kebudayaan etnis Tionghoa, terdapat tradisi penghormatan terhadap leluhur atau nenek moyang yang telah meninggal. Salah satu yang cukup terkenal adalah Cheng Beng, atau tradisi membersihkan makam serta berdoa akan keselamatan leluhur.
Dilansir dari qq.com, sejarah Cheng Beng berasal dari dalam bahasa Mandarin, yaitu Cheng yang berarti cerah dan Beng yang berarti terang. Hal ini dikarenakan sinar matahari yang terang benderang menjadi pertanda akan datangnya musim panas, waktu terlaksananya Cheng Beng. Di negara asalnya sendiri, Cheng Beng biasa disebut dengan “Qing Ming”.
Puncak Cheng Beng digelar setiap tanggal 5 April. Biasanya dua minggu sebelumnya, etnis Tionghoa telah memberikan penghormatan kepada leluhur dengan cara membersihkan dan menghias makam, serta membakar kertas (cua) untuk ditaruh di atas makam. Baru pada puncak acara, mereka berdoa beramai-ramai di depan kuburan untuk mengharap keselamatan.
Etnis Tionghoa percaya, apabila mereka pergi bersama sanak saudara menziarahi makam leluhur, maka keberuntungan senantiasa mudah untuk didapatkan. Tidak hanya leluhur, kuburan keluarga dekat juga ikut diziarahi, seperti ayah, ibu, adik, kakak, maupun nenek atau kakek yang telah meninggal.
Sejarah Tradisi Cheng Beng
Setiap makam yang didatangi akan dibersihkan agar tampak elok. Mereka percaya jika makam di bumi mencerminkan tempat tinggal leluhur di langit.
Diceritakan bahwa dulu ada seorang anak bernama Cu Guan Ciong (Zhu Yuan Zhang, pendiri Dinasti Ming) yang berasal dari sebuah keluarga yang amat miskin. Orang tua Cu Guan Ciong kerap meminta bantuan materi kepada sebuah kuil di desa untuk membesarkan anaknya. Makin dewasa, Cu Guan Ciong memiliki sikap dan akhlak yang baik, sehingga ia akhirnya diangkat menjadi seorang seorang Kaisar.
Setelah menjadi Kaisar, Cu Guan Ciong kerap memimpin pasukan untuk pergi berperang melawan musuh dalam jangka waktu yang lama. Ketika perang usai, ia kembali ke desa untuk menjumpai orang tuanya. Setelah sampai, ia mendapat kabar bahwa orang tuanya telah tiada. Sayangnya masyarakat di desa tidak ada yang mengetahui keberadaan makam orang tua Cu Guan Ciong.
Cu Guan Ciong kemudian berpikir bagaimana caranya untuk menemukan makam orang tuanya. Ia akhirnya memerintahkan seluruh rakyatnya untuk berziarah, membersihkan makam leluhur masing-masing, dan meletakkan Kertas Lima Warna (go sek cua) di atas makam leluhur mereka.
Setelah seluruh rakyat selesai berziarah, Cu Guan Ciong pergi ke pemakaman. Ia mencari kuburan mana yang belum dibersihkan. Cu Guan Ciong menemukan dua buah makam yang belum memiliki kertas warna. Ia pun berasumsi bahwa itu adalah makam orang tuanya. Ia kemudian membersihkan dan memberi penghormatan di makam tersebut. Sejak saat itu, tradisi Cheng Beng ini berlangsung hingga sekarang. (*)
Advertisement