Presiden Indonesia Joko Widodo bertemu Presiden Rusia Vladimir Putin. eng.kremlin.ru ©2014 Merdeka.com - Image from cdns.klimg.com
Jakarta, Bolong.id - Rusia menyepakati kontrak memasok gas untuk Tiongkok selama 30 tahun. Diatur oleh Gazprom, perusahaan monopoli atas ekspor gas Rusia. Gazprom akan memasok perusahaan energi Tiongkok CNPC sebanyak 10 miliar meter kubik gas per tahun.
Kerja sama antara Tiongkok dan Rusia dipandang sebagai sebuah aliansi energi. Meski di tengah memanasnya hubungan Rusia dengan beberapa negara Barat terkait Ukraina, Tiongok muncul. Hal ini bukanlah kolaborasi negara yang aneh.
Dalam sejarahnya, di masa Perang Dingin, ketika Rusia sebagai gembong Uni Soviet yang komunis, Rusia dan Tiongkok adalah persekutuan komunis yang dimusuhi Amerika Serikat (AS) dan Inggris yang liberal.
Baik Rusia dan Tiongkok, di masa Perang Dingin mendekati Indonesia. Setelah 1950, Indonesia adalah negara terbesar di Asia Tenggara, yang harus didekati dua negara itu agar tidak jatuh dalam pengaruh Blok Barat yang liberal.
Maka tak heran jika dari Rusia dan Tiongkok, Indonesia pernah dapat bantuan. Tidak hanya uang, tapi juga persenjataan yang membuat Indonesia kuat di Asia Tenggara dan sekitarnya.
Di era Sukarno, Indonesia pernah diganggu AS dalam PRRI/Permesta, tentunya sangat wajar jika dalam Perang Dingin bersekutu dengan saingan AS, dalam hal ini Soviet atau Tiongkok. Membuat era Sukarno pernah dibangun Poros Jakarta-Peking-Moskow.
Hubungan dengan Rusia membuat Indonesia dapat bantuan militer berupa persenjataan seperti KRI Irian dan pesawat-pesawat tempur canggih. Ketika Indonesia gagal membeli senjata dari AS, Indonesia dapat membelinya di negara-negara Blok Timur.
Namun hubungan Uni Soviet dan Tiongkok terdapat pasang surutnya. Sebab, Uni Soviet yang beribukota di Moskow dan Tiongkok yang beribukota di Beijing (dulu disebut Peking), pernah memburuk hubungannya. Bung Karno dan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang punya kepentingan bertindak.
Dalam Tengara Orde Baru: Kisah Harry Tjan Silalahi (2004:114), JB Sudarmanto menulis "Aidit diperintahkan ke Beijing dan Moskow untuk mendamaikan kedua negara itu sehingga tidak terpecah belah." Usaha sulit itu tidak berhasil gemilang. Kemudian PKI sendiri lebih cenderung ke Beijing/Peking ketimbang ke Moskow.
"Tak heran kita, jika akhirnya Bung Karno menarik garis poros Jakarta-Hanoi-Peking-Pyongyang. Moskow tidak masuk garis lagi, sesuai dengan garis politik PKI yang baru, yaitu berorientasi ke Peking," aku Hatta dalam Bung Hatta Menjawab (1978:50).
Walau terjalin baik dengan Tiongkok, hubungan Indonesia dengan Uni Soviet sebelum 1965 tetap berjalan. Poros-poros dengan negara-negara komunis itu kemudian berakhir setelah Sukarno jatuh dan Soeharto menjadi presiden RI. Orde Baru dengan merasa menjalankan Politik Luar Negeri Bebas Aktif dengan AS, tapi menjauh dari negara komunis dengan alasan G30S.
Setelah Soeharto lengser, hubungan Tiongkok dengan RI benar-benar pulih. Saat ini, pemerintahan Presiden Jokowi bahkan mengulang kembali apa yang dulu dilakukan Presiden Sukarno, dekat dengan Tiongkok.
Jika Jokowi ingin terlibat dalam ketegangan dunia bersama Tiongkok dan Rusia seperti saat ini, maka Poros Jakarta-Beijing-Moskow akan terjalin kembali.(*)
Informasi Seputar Tiongkok
Advertisement