Sri Mulyani - Image from Dari berbagai sumber. Segala keluhan terkait hak cipta silahkan hubungi kami
Jakarta, Bolong.id - Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa pengelolaan utang Indonesia dan defisit APBN untuk membiayai pandemi COVID-19 masih lebih baik dibandingkan berbagai negara lain di dunia.
"APBN kita tahun 2020 defisitnya 6,1%. Di India terjadi lonjakan defisit hingga 12,3% dari PDB, Tiongkok defisitnya 11,4% dari PDB, Jepang defisitnya 12,6% dari PDB, Inggris defisit 13,4% dari PDB dan Amerika Serikat defisit 15,8% dari PDB," tutur Sri Mulyani dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) terkait pembahasan Rancangan Undang- Undang (RUU) tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2022 di Jakarta, Selasa (24/08/2021).
Sri Mulyani mengatakan terjadinya defist di masing-masing negara membuat rasio utang tiap negara mengalami kenaikan. Lebih lanjut lagi ia menjelaskan, di Indonesia rasio kenaikan utang naik 9,2 persen menjadi 39,4 persen.
Rasio utang India naik 15,7 persen menjadi 89,6 persen dari PDB. Rasio utang Tiongkok juga mengalami lonjakan menjadi 66,8 persen dari PDB karena naik 9,8 persen. Di Jepang rasio utang naik 21,4 persen menjadi 256,2 persen dari PDB. Inggris mengalami kenaikan rasio utang 18,4 persen menjadi 103,7 persen.
Sedangkan Amerika Serikat mengalami kenaikan rasio utang 18,9 persen menjadi 12 persen. Berbagai rasio kenaikan utang tersebut terjadi dalam satu tahun anggaran.
Sri mulyani pun menegaskan, dengan demikian tingkat rasio utang Indonesia masih relatif lebih rendah dari berbagai negara tersebut. Artinya, jelas Menkeu, pemerintah sangat berhati-hati dalam mengelola utang dan APBN dalam situasi yang penuh dengan ketidakpastian. "Maka kita masih termasuk dalam negara yang berhati-hati dan prudent dalam kelola APBN bahkan dalam situasi syok yang luar biasa," pungkasnya.
Dia menambahkan, pemerintah akan terus merencanakan pembiayaan secara hati-hati setiap tahun dengan perhitungan yang terintegrasi antara rencana penerimaan dan pembiayaan. Tentunya dalam hal ini melibatkan dan menunggu kesepakatan DPR RI.
Advertisement