Daniel Dumbrill dalam Siarannya Bersama CGTN - Image from CGTN
Jakarta, Bolong.id – Seorang Youtuber asal Kanada yang tinggal di Shenzhen, Daniel Dumbrill sempat ramai dibicarakan di media. Dalam kanal Youtube-nya yang memiliki 144.000 subscribers, Dumbrill mengadakan diskusi panel secara daring dengan tajuk Propaganda Amerika Serikat (AS)/ Kanada – Panel ‘Genosida’ Xinjiang.
Dalam kesempatan itu, Dumbrell sendiri sempat menjelaskan pandangannya terkait tuduhan genosida Xinjiang yang ia nilai sebagai upaya AS dan negara-negara barat untuk mengganggu stabilitas Tiongkok.
Dumbrell mengundang berbagai pakar yang relevan dalam diskusinya yang berlangsung pada 19 Maret itu. Ikut dalam diskusi selama 2 jam 41 menit itu adalah Professor Radhika Desai seorang penulis dan akademisi ahli di isu ekonomi geopolitik, Konsul Jenderal Tiongkok untuk Calgary yang sebelumnya pernah menjabat di Inggris dan San Fransisco, Omar Latif, seorang aktivis global, dan Max Blumenthal, seorang jurnalis investigasi pemenang penghargaan yang juga mengidentifikasi narasi problematic terkait Xinjiang.
Pernyataan 12 menit yang disampaikan dalam diskusi panel itu pun sontak disebarkan secara luas oleh kantor-kantor media milik pemerintah, termasuk CGTN, dan viral di Weibo. Bahkan, pada 26 Maret, video
pidato Dumbrell diputar dalam konferensi pers regular Kementerian Luar Negeri Tiongkok.
Dalam pidatonya, Dumbrill mengatakan Tiongkok akan melampaui AS sebagai ekonomi terbesar di dunia lebih cepat dari yang diharapkan, menjadikan negara itu opsi non-Barat untuk kemitraan kerja sama
bagi negara-negara yang kaya sumber daya. Dia juga mengatakan ada peningkatan risiko renminbi akan menandingi hegemoni global dolar AS mengingat Tiongkok juga memiliki potensi besar pada mata uang digital.
Darisana, ia melanjutkan "tambahkan konteks Xinjiang sebagai situs cadangan minyak terbesar di Asia, dan fakta bahwa tempat itu merupakan kunci untuk Belt and Road Initiative Tiongkok - dan bahwa AS [memiliki sejarah konflik] terorisme Islam yang sudah ada sebelumnya - pertanyaannya tiba-tiba menjadi bagaimana mungkin Anda tidak menduga AS menaruh perhatian khusus pada Xinjiang? [ini] bukan karena hak asasi manusia, jika kita melihat sejarah AS".
Dumbrill pun mengkritisi Australian Strategic Policy Institute (ASPI), sebuah think tank yang ia sebut sebagai penghasil propaganda anti-Tiongkok terbesar. Katanya, lembaga pengkaji ini didanai oleh perusahaan produsen senjata dan kelengkapan militer seperti Lockheed Martin, Ratheon, Boeing, dan lain-lain yang mendapatkan keuntungan dari sentimen anti-Tiongkok. Pasalnya, dengan meningkatnya persepsi ancaman terhadap Tiongkok, pemerintah dengan didukung oleh masyarakat akan meningkatkan belanja militernya.
Tak hanya itu, ketika membicarakan tentang isu Xinjiang, Dumbrill mengemukakan keberatannya pada tuduhan pelanggaran HAM yang dilayangkan negara-negara barat kepada pemerintah Tiongkok. Dumbrill mengatakan, tuduhan 'genosida' ini dikatakan terjadi kepada komunitas yang justru berkembang lebih pesat daripada kelompok mayoritas Tiongkok, suku Han, yang tidak dikenakan kebijakan satu anak atau one child policy. Ia mengatakan, faktanya komunitas Uighur memiliki 20.000 masjid dibangun untuk mereka. Aksara mereka ditulis pada semua mata uang nasional, sesuatu yang bahkan, menurut Dumbrell, "tidak kami lakukan untuk penduduk asli kami di Kanada".
Tak hanya itu, host diskusi panel itu menyebutkan selebriti papan atas Tiongkok adalah seorang wanita Uighur yang baru-baru ini menjadi brand ambassador merk mode mewah Louis Vuitton. Anak-anak Uighur diberikan akses yang lebih mudah untuk masuk ke universitas ternama Tiongkok dan mereka dipersiapkan makanan halal khusus di kantin serta mendapatkan area sholat. Ia pun mengecam, "lalu kita diharapkan untuk percaya bahwa populasi ini sedang dimusnahkan, baik secara literal maupun budaya?"
Dumbrill kemudian merujuk pada berbagai ironisme dalam tindakan negara-negara barat pada Xinjiang. Negara-negara Barat memboikot produk dari Xinjiang sehingga membuat orang-orang Uighur kehilangan mata pencahariannya. Sebagai akibatnya, mereka terdorong untuk meninggalkan provinsinya untuk bekerja, yang kemudian negara-negara Barat sebut sebagai upaya 'genosida kultural'. Lebih lagi, negara-negara Barat pun disebut 'menakut-nakuti' perusahaan-perusahaan internasional yang beroperasi di Xinjiang untuk tidak mempekerjakan komunitas Uighur karena beresiko dituduh melakukan praktek kerja paksa.
Di penghujung pidatonya, Dumbrill pun mempertanyakan aksi parlemen Kanada yang tidak menghiraukan aksi-aksi pelanggaran HAM, kelompok militer yang meraup keuntungan dari konflik, opresi terhadap kelompok Uighur yang dilakukan oleh negara-negara barat, serta penolakan yang diberikan pemerintah Kanada kepada penduduk negaranya sendiri yang mengkritisi legislasinya.
Sebagai informasi, pasalnya, Dumbrill telah menghubungi hampir 80 anggota parlemen Kanada yang bulan lalu mendukung mosi yang menggambarkan perlakuan Tiongkok terhadap minoritas Muslim Uighur. Dumbrill hanya mendapatkan penolakan atau tidak ada respon sama sekali. Tercatat ada 1 anggota parlemen yang sempat setuju, namun ia tiba tiba membatalkan janji secara mendadak mendekati hari wawancara dan tidak merespon terhadap kemungkinan penggantian jadwal. (*)
Advertisement