Tiongkok-Indonesia - Image from Gambar diambil dari internet, segala keluhan mengenai hak cipta, dapat menghubungi kami.
Tahun ini merupakan tahun ke-70 hubungan diplomasi Indonesia-Tiongkok. Pada hari Jumat, 15 Mei 2020, dalam rangkaian acara Nihao Ramadan, PCINU mengadakan diskusi mengenai hubungan diplomasi Indonesia-Tiongkok bersama Gus Imron Rosyadi, Rois Syuriah PCINU Tiongkok, HE. Djauhari Oratmangun, Duta Besar RI untuk RRT dan Mongolia, dan Yeremia Lalisang, Pengajar di Departemen Hubungan Internasional Universitas Indonesia.
Dalam hubungan diplomasi Indonesia-Tiongkok, tidak bisa tidak berhubungan antar-manusia, dalam konteks ini adalah hubungan antar warga kedua negara. Kesalingpahaman antar-warga merupakan wujud konkret yang ingin kedua belah pihak capai. Meskipun hubungan diplomasi Indonesia-Tiongkok mempunyai sejarah yang cukup panjang, namun melihat fakta yang sekarang terjadi, nampaknya masih belum ada kesalingpahaman itu, kata Yeremia.
Yeremia juga menyatakan bahwa salah satu hambatan diplomasi Indonesia-Tiongkok antara lain adalah adanya ‘Historical burden’. Imron Rosyadi menjelaskan bahwa historical burden ini berkaitan dengan sejarah kelam masa lalu pemberontakan PKI yang terus dihubungkan dengan Tiongkok. Publik terus melihat Tiongkok dengan kacamata orde baru sehingga selalu menghubungkan sesuatu yang berbau Tiongkok dengan komunisme.
Untuk mendapat kesalingpahaman, kedua negara harus saling berkomunikasi. “Kalau di Indonesia sekarang ada film Assalamualaikum Beijing, kita lagi nunggu usaha kita dibalas atau tidak Waalaikumsalam Jakarta” kata Yeremia. Ia juga menambahkan kedua negara harus dituntut untuk berkomunikasi dengan bahasa yang sama, pemahaman yang sama.
Djauhari pun menyetujui pendapat Yeremia bahwa harus ada koneksi atau jembatan di antara warga kedua negara. “Perlu ada jembatan, saya pakai istilah jembatan kata-kata, semakin banyak orang Indonesia yang memahami bahasa Mandarin dan semakin banyak orang Tiongkok yang memahami bahasa Indonesia”. Ia pun menambahkan bahwa ketika warga kedua negara dapat saling memahami dengan bahasa yang sama baru akan ada jembatan kata-kata yang akan menghasilkan kerja sama yang luar biasa antara kedua negara.
Advertisement