Donald Trump - Image from gambar diambil dari internet, segala keluhan mengenai hak cipta, dapat menghubungi kami
Washington, Bolong.id - Presiden AS, Donald Trump menunda pertemuan G7 yang awalnya direncanakan akan diadakan pada bulan Juni 2020. Sebagai gantinya, beliau telah menjadwalkan ulang pertemuan tersebut pada akhir pekan, sebelum atau setelah digelarnya Majelis Umum PBB pada 15-30 September 2020, atau seperti yang dilaporkan oleh Bloomberg, Minggu (31/5/2020), pertemuan G7 bisa jadi dilakukan saat musim gugur atau setelah Pemilihan Presiden AS pada tanggal 3 November 2020 nanti. Dilansir dari AFP pada hari Minggu (31/5/2020), Trump bersama dengan empat negara anggota lainnya telah berdiskusi untuk rencana perluasan G7 menjadi “G10 atau G11”, dengan mengundang empat negara anggota baru yang cukup strategis secara global, yaitu Australia, India, Korea Selatan dan Rusia. Anehnya, keempat negara ini adalah negara-negara yang sempat atau bahkan sedang bersitegang dengan Tiongkok. Menurut Juru bicara Gedung Putih, Alyssa Farah, topik utama yang akan dibahas Trump pada pertemuan ini juga mengenai Tiongkok, terkait masalah-masalah seperti penanganan pandemi COVID-19 serta kasus yang sedang terjadi di Hong Kong.
Jika dilihat dari sejarahnya, Korea Selatan dan Australia adalah sekutu lama AS yang mendukung penyelidikan independen terhadap sumber wabah virus COVID-19 dan juga merupakan negara yang menyatakan keprihatinan mereka mengenai hukum keamanan nasional baru Hong Kong. India adalah pusat strategi AS di wilayah Indo-Pasifik. Dulunya, negara ini juga memiliki sejumlah pertentangan dengan Tiongkok, termasuk pertikaian perbatasan mereka saat ini di Ladakh. Sedangkan Rusia adalah negara yang harus diundang kembali setelah sempat dikeluarkan dari G8 akibat invasi Ukraina dan aneksasi Krimea, karena menurut AS negara ini juga memiliki kepentingan strategis global.
Ide perluasan G7 yang dicetuskan oleh AS dengan anggota G7 lainnya yaitu Italia, Jerman, Prancis, Inggris, Jepang, dan Kanada berpotensi untuk membentuk koalisi internasional tanpa Tiongkok. John Lee, seorang rekan senior di Institut Hudson, sebuah lembaga riset Washington, mengatakan bahwa AS bisa jadi berupaya untuk memajukan agenda yang akan melemparkan tanggung jawab kepada Tiongkok atas kegagalan global karena pandemi yang sedang terjadi sekarang. Sebelumnya, selama dekade terakhir, Tiongkok telah berusaha meningkatkan pengaruhnya di lembaga-lembaga dan platform multilateral, karena AS merasa khawatir. Salah satu contohnya adalah saat Trump menyebut bahwa Beijing punya pengaruh yang sangat tinggi kepada WHO, ketika dia mengumumkan bahwa AS akan memutuskan hubungannya dengan badan internasional tersebut.
Melihat Trump sedang mengumpulkan sejumlah negara untuk berkoalisi tanpa Tiongkok, kemudian muncul respon dari pihak Tiongkok, salah satunya datang dari Ni Feng (倪峰), Direktur Institute of American Studies di Chinese Academy of Social Sciences. Ia mengatakan, Trump sedang berusaha untuk memobilisasi dukungan dari sekutu AS untuk mengendalikan Tiongkok. "Tujuannya sederhana, yakni untuk mengisolasi Tiongkok. Ini hanya permulaan, langkah-langkah berikutnya akan menyusul," tambahnya. Wang Wen (王文), Dekan di Institut Studi Keuangan Chongyang di Universitas Renmin (中国人民大学) di Beijing juga menyampaikan tanggapannya atas tindakan AS. Ia menyatakan bahwa tidak mungkin bagi AS untuk bisa membentuk garis depan dan mengadakan perang dingin dengan Tiongkok.
Sumber: internasional.kontan.co.id, kompas.com, kabar24.bisnis.com
Advertisement