Lama Baca 4 Menit

RUU Uighur Mengekspos 'Toleransi' AS Untuk Terorisme

21 June 2020, 11:35 WIB

RUU Uighur Mengekspos 'Toleransi' AS Untuk Terorisme-Image-1

RUU Uighur Ekspos "Toleransi" AS akan Terorisme? - Image from : gambar diambil dari internet, segala keluhan mengenai hak cipta, dapat menghubungi kami

Beijing, Bolong.id – Pejabat wilayah otonomi Uighur, Xinjiang, mengklaim bahwa undang-undang yang dibuat Amerika Serikat (AS) terkait Xinjiang menunjukkan wajah sebenarnya dari toleransi AS terhadap aksi terorisme, ekstrimisme, dan separatisme di wilayah Xinjiang, karena undang-undang tersebut tidak memiliki dasar yang jelas. Tindakan hukum Tiongkok dalam memerangi aksi terorisme, ekstrimisme, dan separatisme itu sifatnya untuk melindungi semua orang di Xinjiang, anehnya justru dituduh AS sebagai tindakan pelanggaran hak asasi manusia. Gedung Putih mengumumkan pada hari Rabu (17/6/2020) kemarin, bahwa Presiden AS Donald Trump telah menandatangani apa yang disebut sebagai ‘Undang-Undang Kebijakan Hak Asasi Manusia Uighur tahun 2020'. Sementara itu, Tiongkok menentang hal tersebut, sejak Dewan Perwakilan Rakyat AS menyetujui RUU itu pada akhir tahun 2019 silam.

Wu Xiaohua (吴晓华), Dewan Legislatif Daerah dan Wakil Direktur Komisi Urusan Hukum dari Komite Tetap Kongres Rakyat wilayah otonom Xinjiang Uighur mengatakan, upaya anti-terorisme dan anti-ekstrimisme yang dilakukan sudah sesuai dengan hukum Tiongkok, terbukti efektif untuk melindungi kehidupan semua orang di Xinjiang. Antara tahun 1990 hingga akhir 2016, ribuan insiden terorisme terjadi di Xinjiang, yang telah memakan banyak korban, dan orang-orang Xinjiang terus hidup dalam ketakutan. Namun, sejak otoritas daerah Xinjiang melakukan kampanye untuk menindak kegiatan teroris yang penuh kekerasan itu pada tahun 2014, lebih dari 1.588 kelompok teroris pun berhasil dibubarkan dan 12.995 tersangka teroris juga sudah ditangkap. “Karena upaya tersebut, jarang ada lagi aksi terorisme yang terjadi di Xinjiang, selama lebih dari tiga tahun, lho!” ujar Wu (吴晓华), dilansir dari chinadaily.com.

Undang-undang AS yang baru tersebut digunakan untuk menekan orang dari kelompok etnis tertentu di Xinjiang. “Memang sudah dari lama, AS berjaga-jaga atas kegiatan terorisme di sana, tetapi AS kok malah menyebut kegiatan terorisme yang kejam di wilayah Xinjiang itu sebagai gerakan pembebasan nasional? Pelakunya malahan disebut sebagai pejuang demokrasi.” kata Yalkun Yakup, Wakil Kepala Departemen Keamanan Publik Regional Urumqi, berujar saat konferensi pers, yang diadakan di ibu kota Provinsi Xinjiang, Urumqi pada hari Jumat (19/6/2020).

Undang-undang itu memastikan bahwa tindakan Xinjiang sudah berdasarkan hukum dan juga sesuai dengan agama. Faktanya, kegiatan agama umat muslim di Xinjiang berjalan normal dan dilindungi, tidak ada orang yang pernah dihukum karena menjadi seorang muslim di Xinjiang. Perkemahan yang didirikan di Xinjiang sebagai pusat pelatihan kejuruan dan keterampilan yang menawarkan kursus bahasa Mandarin, hukum, dan program deradikalisasi malah dibilang sebagai pusat pencucian otak terhadap kelompok etnis yang ditahan. Maka dari itu, pihak Tiongkok menegaskan bahwa semua tuduhan AS yang ada di dalam undang-undang terkait Xinjiang, sangat tidak berdasar dan tidak sesuai dengan fakta yang terjadi saat ini. AS juga memilih untuk mengabaikan fakta bahwa saat ini orang-orang di kawasan Xinjiang sedang menikmati hidup dengan damai.