Presiden Joko Widodo bersama Presiden Xi Jinping - Image from Mercinews
Jakarta, Bolong.id - Awal September 2020, ketika pandemi COVID-19 berkecamuk, Tiongkok menjadi tuan rumah acara “Wonderful Indonesia” di International Cultural Exchange di Beijing. Memamerkan budaya Indonesia yang beragam, mulai dari kopi, makanan dan minuman kelapa hingga kerajinan tangan tradisional Indonesia seperti batik.
Acara tersebut menunjukkan hubungan soft power yang telah tumbuh antara Jakarta dan Beijing dalam beberapa tahun terakhir. Meskipun kurang dilaporkan, kemitraan ini semakin intensif sejak pemberlakuan Belt and Road Initiative (BRI) pada 2013.
Ini tidak hanya melibatkan peningkatan ikatan budaya, tetapi juga pertukaran pendidikan yang signifikan dan peningkatan hubungan antar manusia.
Dilansir dari The Asean Post, Tiongkok memandang Indonesia sebagai salah satu titik fokus di BRI, terutama di sepanjang jalur maritim penting dari inisiatif tersebut. Telah ada pemikiran ulang penting dalam aparat kebijakan Beijing terhadap Indonesia, didorong oleh kesadaran bahwa hubungan ekonomi yang tumbuh antara kedua pemerintah harus dilengkapi dengan pertukaran berbasis budaya.
Hubungan antara Jakarta dan Beijing sangat dibayangi oleh sejarah baru-baru ini, termasuk meluasnya sentimen anti-Tiongkok di Indonesia yang merupakan warisan rezim Suharto dan gesekan maritim baru-baru ini di dekat Kepulauan Natuna di Laut Tiongkok Selatan.
Namun, kedua negara memiliki kepentingan yang saling bergantung: implementasi BRI, dan peningkatan konektivitas dan pengaruh di Asia Tenggara untuk Beijing, dan investasi asing langsung (Foreign Direct Investment; FDI) dan perdagangan untuk memajukan ambisi mengubah negara menjadi "poros maritim global" untuk Jakarta. Soft power semakin memainkan peran penting dalam mendorong kebijakan ekonomi yang saling melengkapi ini.
Memahami Sentimen Anti-Tiongkok di Indonesia
Segera setelah BRI diumumkan 2013, Beijing menandatangani perjanjian kerjasama peningkatan pertukaran barang Tiongkok dengan Indonesia.
Ini menghasilkan acara rutin yang diselenggarakan di seluruh Indonesia seperti Festival Budaya Tiongkok-Indonesia 2017 di Malang, Jawa Timur, dan pertunjukan budaya bersama dan perayaan Festival Lampion di Jakarta. Acara semacam itu memamerkan aspek budaya Tiongkok, seperti tarian tradisional dan seni bela diri, yang jarang terjadi satu dekade lalu.
Indonesia memiliki sejarah prasangka panjang terhadap Tiongkok, yang berakar pada sentimen negatif terhadap etnis minoritas Tionghoa. Sampai hari ini, sentimen anti-Tionghoa masih tersebar luas di masyarakat Indonesia.
Sentimen xenofobia telah menguat seiring dengan kegiatan ekonomi Tiongkok di Indonesia yang tumbuh bersamaan dengan pandemi COVID-19.
Muncul aneka isu negatif. Antara lain, kekhawatiran pekerja Tiongkok menguasai pekerjaan lokal, teori konspirasi bahwa produk Tiongkok sengaja terinfeksi virus COVID-19 dan bahwa pasukan keamanan Tiongkok melakukan intervensi dalam politik dalam negeri, telah beredar.
Sebuah studi baru-baru ini juga menemukan bahwa tindakan kebijakan dalam dan luar negeri Beijing telah mempengaruhi orang Indonesia Tionghoa di seluruh nusantara.
K etika Presiden Xi Jinping menginisiasi BRI, ia memahami pentingnya penggunaan kegiatan budaya untuk memudahkan pelaksanaan dan melembutkan citra Republik Rakyat Tiongkok.
“Vision and Actions on Jointly Building Silk Road Economic Belt and 21st-Century Maritime Silk Road”, dokumen strategi utama BRI, menekankan “pertukaran budaya” sebagai bagian penting dari realisasi inisiatif.
Kebudayaan Dan Pendidikan
Kegiatan budaya telah dilembagakan oleh kedua negara dengan dibentuknya China-Indonesia Cultural Forum pertama pada Januari 2019. Sebagai bagian dari forum tersebut, direncanakan juga terdapat pusat seluas 10.000 meter persegi di Gunung Batur, Bali yang diimpikan sebagai tempat bagi Tiongkok dan Indonesia untuk mengenal budayanya masing-masing.
Media massa di Indonesia juga memberitakan bahwa akan ada panti asuhan dan universitas multi bahasa (Inggris, Indonesia, dan Tiongkok) yang akan dibangun di daerah tersebut.
Upaya kolaborasi dan pertukaran yang luas juga terjadi dalam film, musik, dan fotografi.
Selain acara budaya, hubungan soft-power antara Indonesia dan Tiongkok juga mencakup kegiatan akademik dan pendidikan yang berkembang. Tiongkok secara aktif berusaha menarik orang Indonesia untuk belajar di Tiongkok.
Pameran Pendidikan Tiongkok (China Education Exhibition; CEE), misalnya, telah diselenggarakan 16 kali sejak penulisan, di bawah koordinasi China Service Center Exchange (CSCSE) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia.
Tiongkok juga menawarkan beasiswa kepada orang Indonesia melalui berbagai inisiatif yang dipimpin negara di universitas yang ditunjuk. Alhasil, Tiongkok daratan menjadi tujuan utama bagi kaum muda Indonesia untuk melanjutkan pendidikan tinggi.
Pada 2017, jumlah orang Indonesia yang belajar di perguruan tinggi Tiongkok mencapai 13.700, dan meningkat sekitar 10 persen setiap tahunnya.
Kedua negara juga meneken kesepakatan untuk memperkuat kemitraan pendidikan pada 2017. Ini merupakan kerjasama pendidikan ketiga yang ditandatangani pasca-BRI, setelah menyelesaikan kesepakatan beasiswa pada 2015 dan saling pengakuan kualifikasi akademik perguruan tinggi pada 2016.
Kemitraan pendidikan antara Beijing dan Indonesia dimulai sejak 2000, khususnya dalam pelatihan bahasa Mandarin informal. Namun, seiring dengan berkembangnya pijakan ekonomi Tiongkok, minat belajar bahasa Tiongkok tumbuh di kalangan orang Indonesia.
Alhasil, berbagai pusat bahasa Mandarin telah didirikan di Nusantara. Apalagi, meski menghadapi berbagai persoalan dan gesekan, Tiongkok juga telah mendirikan Institut Konfusius di dalam negeri di bawah mediasi Badan Koordinasi Pendidikan Bahasa Mandarin. Di samping promosi dan pengajaran bahasa Tiongkok, institut ini juga melakukan pertukaran dan aktivitas yang mempromosikan budaya Tiongkok.
Dalam beberapa tahun terakhir, Tiongkok juga memperkuat kemitraan pendidikan formalnya dengan Indonesia. Pertukaran siswa-guru semakin banyak dilakukan demi mendorong siswa dan guru belajar tentang bahasa dan budaya satu sama lain. Universitas dan institusi lain dari kedua negara juga telah bekerjasama untuk saling belajar.
Misalnya, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Indonesia telah menandatangani kemitraan dengan Institut Teknologi Kereta Api Nanjing dan pusat penelitian HTGR (reaktor berpendingin gas suhu tinggi) Tiongkok di Universitas Tsinghua untuk mempelajari tentang pengembangan kereta cepat.
Kedua negara juga telah memprakarsai beberapa laboratorium bersama, antara lain Bioteknologi dan Reaktor Pendingin Gas Temperatur Tinggi, Pusat Transfer Teknologi Indonesia-Tiongkok, dan Program Pertukaran Ilmiah.
People To People
Dalam beberapa tahun terakhir, Tiongkok juga semakin memperkuat hubungan dengan mitra dan organisasi non-negara. Pada September 2018, misalnya, Administrasi Negara Urusan Agama Tiongkok mengumumkan niatnya untuk menjalin kemitraan dengan Muhammadiyah, salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia. Selain kerjasama tersebut, beberapa diskusi akademis publik tentang peran budaya dalam hubungan Tiongkok-Indonesia juga telah dilakukan.
Semua ini terjadi dalam konteks pertukaran antar-masyarakat yang berkembang. Kebijakan pemerintah Indonesia dalam memberikan kunjungan bebas visa kepada warga negara Tiongkok telah berkontribusi besar dalam meningkatkan jumlah wisatawan Tiongkok yang berkunjung ke Indonesia.
Pada 2020, jumlah wisatawan Tiongkok ke Indonesia meningkat 17,58 persen. Jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah, seiring dengan upaya pemerintah di Jakarta untuk mendatangkan lebih banyak turis Tiongkok ke negara tersebut. Yang terpenting adalah Memorandum of Understanding (MoU) dengan Tiongkok tentang pengembangan investasi pariwisata untuk menarik 10 juta turis dari Tiongkok per tahun. Namun, ini tetap tertunda karena pandemi COVID-19.
Jangkauan soft-power Tiongkok berkembang seiring pijakan ekonominya di Indonesia. Terlepas dari terobosan besar yang dibuat oleh BRI, jangkauan penuhnya masih terbatas secara geografis saat ini, karena fokusnya di kota-kota besar di Indonesia. Itu tetap membuat terobosan.
Kegiatan budaya yang dilakukan berkisar pada sosialisasi unsur budaya Tiongkok daripada membangun kesamaan visi atau menyikapi sumber sentimen anti Tionghoa di Indonesia. Sebagai perbandingan, di Afrika, dilaporkan bahwa outlet budaya negara Tiongkok telah digunakan untuk mempromosikan bagaimana investasi Tiongkok dapat bermanfaat bagi masyarakat di sana, sedangkan di Indonesia belum ada operasi atau narasi semacam itu yang diterapkan.
Contoh di atas memberikan bukti bahwa jembatan Tiongkok di Indonesia tidak terbatas pada bidang ekonomi tetapi mulai meluas ke bidang budaya, pendidikan, dan antar-masyarakat. Dengan Tiongkok yang bekerja keras menerapkan BRI dan wabah COVID-19 yang memperburuk sikap negatif terhadap Tiongkok dan warganya; Indonesia harus siap menghadapi Beijing untuk memperluas strategi promosi budaya ini di bulan-bulan mendatang karena berusaha melunakkan persepsi tentang Tiongkok di Indonesia.
Seperti yang Xi Jinping nyatakan tentang pendidikan penduduknya sendiri tentang 'Nilai-Nilai Sosialis Inti' negara: “Pekerjaan persiapan harus dilakukan. Seseorang tidak boleh khawatir akan memakan waktu terlalu lama, karena pekerjaan akan selesai dalam waktu yang tepat,” sebagaimana dilansir dari The Asean Post. (*)
- Dubes Xiao Qian Mengajar Kursus Pelatihan Online Para Diplomat Senior Kemlu RI
- Kedubes RRC Gelar Kompetisi Menyanyi Mandarin Virtual, Total Hadiahnya Rp25 Juta
- Dubes China untuk ASEAN Bagikan Episode Terpenting Kerja Sama Tiongkok-ASEAN
- Kesepakatan Kerja Sama Batu Bara China-Indonesia Bikin Kecewa Australia
Advertisement